Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme
Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme- Pada artikel kali ini, kita akan membahas mengenai perlawanan bangsa indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme. Meski bangsa Indonesia berabad-abad telah dikuasai oleh bangsa Barat, tidak berarti rakyat ataupun pemimpin daerah berdiam diri begitu saja ketika bangsa eropa dari pihak VOC maupun Belanda mulai terlihat terang-terangan ingin menguasai ibu pertiwi. Beberapa tindakan perlawananpun sudah pernah dilakukan. Seperti apa saja pejuangan para rakyat dan para tokoh pejuang dalam melawan penjajahan bangsa Eropa? mari kita simak pada penjelasan artikel ini.
![]() |
Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme |
A. Mengevaluasi Perang Melawan
Keserakahan Kongsi Dagang (abad ke-16 sampai abad ke-18)
1. Aceh Versus Portugis dan VOC
Setelah
Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi
Aceh. Banyak para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju ke Aceh.
Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh di bawah pimpinan
Henrigues, dan menyusul pada tahun 1524 dipimpin oleh de Sauza. Beberapa
serangan Portugis ini mengalami kegagalan. Portugis terus mencari cara untuk
melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu
mengganggu kapal-kapal dagang Aceh di manapun berada. Tindakan kapal-kapal
Portugis telah mendorong munculnya perlawanan rakyat Aceh. Sebagai persiapan
Aceh melakukan langkah-langkah antara lain :
- Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh
dengan persenjataan, Meriam dan prajurit.
- Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki pada tahun 1567.
- Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.
Sebagai
tindakan balasan pada tahun 1569 portugis balik arah menyerang Aceh, tetapi
serangan Portugis di Aceh ini juga digagalkan oleh pasukan Aceh.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing semakin meningkat Iskandar muda adalah raja yang gagah, berani dan bercita-cita untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari Malaka. Pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka. Mengahdapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan. Yang berhasil mengusir Portugis dari Malaka adalah VOC pada tahun 1641.
2. Maluku Angkat Senjata
Portugis
berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1521. Mereka memusatkan
aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang orang-orang Spanyol juga memasuki
Kepulauan Maluku dengan memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah
persaingan diantara kedua belah pihak.
Pada
tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebab perang ini
karena kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung dari Belanda yang akan membeli
cengkih ke tidore.
Untuk
menyelesaikan persaiangan antara Portugis dan Spanyol dilaksanakan perjanjian
damai, yakni Perjanjian Saragosa pada tahun 1534. Dengan adanya
perjanjian Saragosa kedudukan Portugis di Maluku semakin kuat. Portugis semakin
berkuasa untuk memaksakan kehendaknya melakukan Monopoli perdaganagan
rempah-rempah di Maluku. Pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat ternate di
bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun. Portugis mulai kewalahan dan menawarkan
perundingan kepada Sultan Khaerun. Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan
Khaerun menerima ajakan Portugis Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570
bertempat di Benteng Sao Palo.
Perjanjian
saragosa ditandatangani 22 April 1529,
adalah perjanjian antara Spanyol dan Portugis yang menentukan bahwa belahan bumi
bagian timur dibagi di antara kedua kerajaan tersebut dengan batas garis bujur yang melalui 297,5 marine leagues atau 17° sebelah timur Kepulauan Maluku. Perjanjian ini adalah kelanjutan dari Perjanjian Tordesillas yang membagi belahan bumi barat di antara Spanyol dan
Portugal dan diprakarsai oleh Paus, yang melihat persaingan perebutan koloni
yang dilakukan oleh Portugis dan Spanyol.
Isi perjanjian Saragosa :
- Bumi dibagi atas dua pengaruh, yaitu pengaruh bangsa Spanyol dan Portugis.
- Wilayah kekuasaan Spanyol membentang dari Mexico ke arah barat sampai kepulauan Filipina dan wilayah kekuasaan Portugis membentang dari Brazillia ke arah timur sampai kepulauan Maluku.
- daerah disebelah utara garis saragosa adalah penguasaan portugis.daerah disebelah selatan garis saragosa adalah penguasaan spanyol.
Setelah
Sultan Khaerun di bunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan
Baabullah (putera Sultan Khaerun). Akhirnya portugis dapat didesak dan pada
tahun 1575 berhasil diusir dari ternate. Orang-orang portugis kemudian
melarikan diri dan menetap di ambon sampai tahun 1605. Tahun itu Poertugis
dapat diusir oleh VOC dari Ambon dan kemudian menetap di Timor-Timur.
Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore. Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya.
![]() |
Perang Maluku |
menjadi vassal VOC, dan sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai sultan semestinya adalah Pageran Nuku). Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari pangeran Nuku. Sultan Nuku mendapat dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera. Oleh para pengikutnya, pangeran Nuku diangkat sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC. Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun1805).
3. Sultan Agung Versus J.P. Coen
Sultan
Agung adalah raja yang paling terkenal dari kerajaan Mataram. Pada masa
pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan
Agung antara lain : (1) mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan (2) mengusir
kekuasaan asing dari bumi Nusantara. Terkait dengan cita-citanya ini maka
Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan VOC di Jawa. Apalagi tindakan
VOC yang terus memaksakan kehendak untuk melakukan monopoli perdagangan membuat
para pedagang pribumi mengalami kemunduran. Kebijakan monopoli itu juga dapat
membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan
ke Batavia dengan alasan :
- Tindakan monopoli yang dilakukan
VOC
- VOC sering manghalang-halangi
kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka
- VOC menolak untuk mengakui
kedaulatan Mataram dan
- Keberadaan VOC di Batavia telah
memberikan ancaman serius bagi masa depan pulau Jawa.
Pada
tahun 1628 telah dipersiapkan pasukan dengan segenpa persenjataan dan
perbekalan. Pada waktu itu yang menjadi gubernur Jenderal VOC adalah JP.Coen .
sebagai pimpinan pasukan mataram adalah Tumenggung Bureksa. Tepat pada
tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa
menyerang Batavia. Pasukan mataram berusaha membangun pos pertahanan, tetapi
kompeni VOC berusaha menghalang-halangi, sehingga pertempuran antara kedua
belah pihak tidak dapat dihindarkan. Pasukan mtaram berusaha mengepung Batavia
dari berbagai tempat. Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan mataram
melawan tentara VOC di berbagai tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan
senjatanya jauh lebih unggul, sehoingga dapat memukul mundur semua lini kekuatan
pasukan Mataram. Tumenggung Baureksa sendiri gugur dalam pertempuran itu.
Dengan demikian serangan tentara sultan Agung pada tahun 1628 itu belum
berhasil.
Sultan
Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang baru saja dialami pasukannya.
Ia segera mempersiapkan serngan yang kedua. Tahun 1629 pasukan Matram
diberangkatkan menuju Batavia. Sebagai pimpinan pasukan Mataram dipercayakan
kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya. Di tegal, tentara VOC berhasil berhasil menghancurkan 200
kapal Mataram, 400 rumah penduduk dan sebuah lumbung beras. Pasukan mataram
pantang mundur, dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung
Batavia. Pasukan mataram berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng
Hollandia. Berikutnya pasukan mataram mengepung Benteng Bommel, tetapi gagal
menghancurkan benteng tersebut. Pada saat pengepungan Benteng Bommel,
terpetikberita bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa
ini terjadi pada tanggal 21 September 1629.
Kegagalan
pasukan metaram menyerang Batavia, membuat VOC semakin berambisi untuk terus
memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya di daerah-daerah lain. Namun di
balik itu VOC selalu khawatir dengan kekuatan tentara Mataram. Tentara VOC
selalu khawatir dengan kekuatan tentara mataram. Tentara VOC selalu
berjaha-jaga untuk mengawasi gerak-gerik pasukan Mataram.
Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I. ia memerintah pada tahun 1646-1677. Ternyata Raja Amnagkurat I merupakan raja yang lemah dan bahakan bersahabat dengan VOC. Raja ini juga bersifat rekasioner dan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama
4. Perlawanan Banten
Banten
memiliki posisi yang strategis sebagai Bandar perdagangan Internasional. Oleh
karena itu sejak semula Belanda ingin menguasai Banten, tetapi tidak pernah
berhasil. Akhirnya VOC membangun Bandar di Batavia pada tahun 1619. Terjadi
persaingan antara Banten dan Batavia memperebutkan posisi sebagai Bandar
perdagangan Internasional. Oleh karena itu, rakyat Banten sering melakukan serangan-serangan
terhadap VOC.
Tahun
1651, Pangeran Surya naik tahta di kesultanan Banten. Ia adalah cucu Sultan
Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Karim, anak dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang
wafat pada 1650. Pangeran surya bergelar Sultan Abu al-Fath Abdulfatah. Sultan
Abu al-Fath Abdulfatah ini lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia
berusaha memulihkan posisi Banten sebagai Bandar perdagangan iternasional dan
sekaligus menandingi perkembangan di Batavia. Beberapa yang dilakukan misalnya
mengundang para pedagang Eropa lain seperti Inggris, Pernacis, Denmark dan
Portugis. Sultan Ageng juga mengembangkan hubungan dagang dengan Negara-negara
Asia seperti Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina. Perkembangan di Banten
ternyata sangat tidak disenangi oleh VOC. Oleh Karena itu, untuk melemahkan
peran Banten sebagai Bandar perdagangan, VOC sering melakukan blockade.
Jung-jung Cina dan kapal-kapal dagang dari Maluku dilarang meneruskan
perjalanan menuju Banten.
Menghadapi
serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota Batavia dengan mendirikan
bentang-benteng pertahanan seperti benteng noordwijk. Dengan tersedianya
beberapa benteng di Batavia diharpakan VOC mampu bertahan dari berbagai
serangan
dari
luar dan mengusir para penyerang tersebut. Sementara itu untuk kepentingan
pertahananan, Sultan Ageng memerintahkan untuk membangun saluran irigasi yang
membentang dari Sungai Untung Jawa sampai Pontang.
Serangan
dan gangguan terhadap VOC terus dilakukan. Di tengah-tengah mengobarkan semngat
anti VOC itu, pada tahun1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota
Abdulnazar Abdulkahar sebagai raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama
Sultan Haji. Sebagai Raja Pembantu Sultan Haji bertanggung jawab urusan dalam
negeri, dan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggung jawab urusan luar negeri dibantu
puteranya yang lain, yakni Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan
pemerintahan di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di BAnten W. Caeff. Ia
kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan di abnten
tidak dipisah-pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangan Arya Purbaya.
Tanpa berpikir panjang Sultan Haji segera membuat persekongkolan dengan VOC
untuk merebut tahta kesultanan Banten. Timbullah pertentangan yang begitu tajam
antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam persekongkolan itu VOC
sanggup membantu sultan Haji untuk merebut Kesultanan Banten tetapi dengan
empat syarat :
- Banten
harus menyerahkan Cirebon kepada VOC
- Monopoli
lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang
Persia, india, dan cina.
- Banten
harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan
- Pasukan
banten yang mengusasi daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik
kembali. isi perjanjian ini disetujui oleh sultan Haji.
Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten. Istana Surosowan berhasil dikuasai. Sultan Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di istana Surosowan.
Sultan Ageng kemudian membangun istana yang baru berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng berusaha merebut kembali kesultanan Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC. Pada tahun 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji terdesak dan segera meminta bantuan tentara VOC. Datanglah bantuan tentara VOC di bawah pimpinan Francois Tack. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan Lebak. Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang kemudian bergerak kea rah Bogor. Baru setelah melalui tipu muslihat pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil di tangkap dan ditawan di Batavia sampai meningglnya pada tahun 1692.
Namun harus diingat bahwa semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya tidak pernah padam. Ia telah mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan Negara dan mempertahankan tanah air dari dominasi asing. Hal ini terbukti setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC terus berlangsung.
5. Perlawanan Goa
Kerajaan
Goa merupakan salah satu kerajaan yang sangat terkenal di Nusantara. Pusat
pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus menjadi pelabuhan Kerajaan
Goa. Somba Opu senantiasa terbuka untuk siapa saja. Banyak para pedagang asing
yang tinggal di kota itu. Misalnya orang Inggris, Denmark, Portugis, dan
Belanda. Mereka diizinkan membangun loji di kota itu. Masyarakat Goa senantiasa
berpegang pada prinsip hidup sesuai dengan kata-kata “Tanahku terbuka bagi
semua bangsa”, “Tuhan menciptakan tanah dan laut; tanah dibagikannya untuk
semua manusia dan laut adalah milik bersama.” Dengan prinsip keterbukaan itu
maka Goa cepat berkembang.
Pelabuhan
Somba Opu memiliki posisi yang strategis dalam jalur perdagangan internasional.
Pelabuhan Somba Opu telah berperan sebagai Bandar perdagangan tempat
personggahan kapal-kapal dagang dari Timur ke barat atau sebaliknya.
Dengan
melihat peran dan posisinya yang strategis, VOC berusaha keras untuk dapat
mengendalikan Goa dan menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan monopoli
perdagangan. Untuk itu VOC harus dapat menundukkan Kerajaan Goa. Berbagai upaya
unuk melemahkan posisi Goa terus dilakukan.
Raja
Goa, Sultan Hasanuddin ingin menghentikan tindakan VOC yang anarkis dan
provokatif itu. Sultan Hasanuddin menentang ambisi VOC yang memaksakan monopoli
di Goa. Seluruh kekuatan dipersiapkan untuk menghadapi VOC. Beberapa benteng
pertahanan mulai dipersiapkan di sepanjang pantai. Beberapa sekutu Goa mulai
dikoordinasikan. Semua dipersiapkan untuk melawan kesewenang-wenangan VOC.
Sementara itu VOC juga mempersiapkan diri untuk menundukkan Goa. Politik devide
et impera mulai dilancarkan. Politik devide et impera (Politik pecah
belah) yaitu kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan
mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi
kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain,
politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu
menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
Gubernur
Jenderal Maetsuyker memutuskan untuk menyerang Goa. Dikirimlah pasukan
ekspedisi yang berkekuatan 21 kapal dengan mengangkut 600 orang tentara. Mereka
terdiri atas tentara VOC, orang-orang Ambon dan juga orang-orang Bugis di bawah
Aru Palaka. Tanggal 7 Juli 1667, meletus Perang Goa. Tentara VOC dipimpin oleh
Cornelis Janszoon Spelman, diperkuat oleh pengikut aru Palaka dan ditambah
orang-orang Ambon di bawah pimpinan Jonker van Manipa. Kekuatan VOC ini
menyerang pasukan Goa dari berbagai penjuru. Beberapa serangan VOC berhasil
ditahan pasukan Hasanuddin. Teteapi dengan pasukan gabungan disertai peralatan
senjata yang lebih lengkap, VOC berhasil mendesak pasukan Hasanuddin. Benteng
pertahanan tentara di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Aru Palaka. Hal ini
menandai kemenangan pihak VOC atas kerajaan Goa. Hasanuddin kemudian dipaksa
untuk menandatangani perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang
isinya antara lain :
- Goa
harus mengakui hak monopoli
- Semua
orang barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Goa
- Goa
harus membayar biaya perang.
Sultan hasnuddin tidak ingin melaksanakan isi perjanjian itu, karena isi perjanjian itu bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat Goa atau Makassar. Pada tahun 1668 Sultan Hasanuddin mencoba menggerakkan kekuatan rakyat untuk kembali melawan kesewenang-wenangan VOC itu. Namun perlawanan ini segera dapat dipadamkan oleh VOC. Dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin harus melaksanakan isi Perjanjian Bongaya. Bahkan benteng pertahanan rakyat Goa jatuh dan diserahkan kepada VOC. Benteng itu kemudian oleh spelman diberi nama Benteng Rotterdam.
6. Rakyat Riau Angkat Senjata
Ambisi
untuk melakukan monopoli perdagangan dan menguasai berbagai daerah di Nusantara
terus dilakukan oleh VOC. Di samping menguasai berbagai daerah di Nusantara
terus dilakukan oleh VOC. Dengan politik memecah belah VOC mulai berhasil
menanamkan pengaruhnya di Riau. Kerajaan-kerajaan kecil seperti Siak,
Indragiri, Rokan, dan Kampar semakin terdesak oleh pemaksaan monopoli dan
tindakan sewenang-wenang dari VOC. Oleh karena itu, beberapa kerajaan mulai
melancarkan perlawanan.
Raja Siak sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1744) memimpin rakyatnya untuk melawan VOC. Setelah berhasil merebut Jolor kemudian ia membuat benteng pertahanan di pulau Bintan. Dari pertahanan di Pulau Bintan ini pasukan Sultan Abdul Jalil mengirim pasukan di bawah Komando Raja Lela Muda untuk menyerang Malaka.
Dalam
suasana konfrontasi dengan VOC itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syeh wafat.
Sebagai gantinya diangkatlah puteranya yang bernama Muhammad Abdul Jalil
Muzafar Syah (1746-1760). Raja ini juga memiliki naluri seperti ayahandanya
yang ingin selalu memerangi VOC di Malaka dan sebagai komandan perangnya adalah
Raja Indra Pahlawan.
Dalam
suasana konfrontasi dengan VOC itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah wafat.
Sebagai gantinya diangkatlah puteranya yang bernama Muhammad Abdul Jalil
Muzafar Syah (1746-1760). Raja ini juga memiliki naluri seperti ayahandanya
yang ingin selalu memerangi VOC di Malaka dan sebagai komandan perangnya adalah
Raja Indra Pahlawan. Tahun 1751 berkobar perang melawan VOC. Sebagai strategi
menghadapi serangan Raja Siak, VOC berusaha memutus jalur perdagangan menuju
siak. VOC mendirikan benteng pertahanan di sepanjang jalur yang menghubungkan
Sungai Idragiri, Kampar, sampai pulau Guntung yang berada di Muara Sungai Siak.
![]() |
Perang Riau |
7. Orang-orang Cina Berontak
Sejak
abad ke-5 orang-orang Cina sudah mengadakan hubungan dagang ke Jawa dan
jumlahnya pun semakin banyak. Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan
Hindu-Budha dan Islam banyak pedagang Cina yang tinggal di daerah pesisir,
bahkan tidak sedikit yang menikah dengan penduduk Jawa. Begitu juga pada masa
pemerintahan VOC di Batavia, banyak orang Cina yang datang ke Jawa. VOC memang
sengaja mendatangkan orang-orang Cina dari Tiongkok. Dalam rangka mendukung
kemajuan perekonomian di Jawa. Orang-orang Cina yang datang ke Jawa tidak semua
yang memiliki modal. Banyak diantara mereka termasuk golongan miskin. Mereka
kemudian menjadi pengemis bahkan ada yang menjadi pencuri.
Untuk
membatasi kedatangan orang-orang Cina ke Batavia, VOC mengeluarkan ketentuan
bahwa setiap orang Cina yang tinggal di Batavia harus memiliki surat izin
bermukim yang disebut permissiebriefjes atau masyarakat sering menyebut
dengan “surat pas”. Apabila tidak memiliki surat izin, maka akan ditangkap dan
dibuang ke Sailon (sri lanka) untuk dipekerjakan di kebun-kebun pala milik VOC
atau akan dikembalikan ke Cina.
Pada
suatu ketika tahun 1740 terjadi kebakaran di Batavia. VOC menafsirkan peristiwa
ini sebagai gerakan orang-orang Cina yang akan melakukan pemberontakan. Oleh
karena itu, para serdadu VOC mulai bereaksi dengan melakukan sweeping
memasuki rumah-rumah orang cina dan kemudian melakukan pembunuhan terhadap
orang-orang Cina yang ditemukan di setiap rumah. Sementara yang berhasil meloloskan
diri dan melakukan perlawanan di berbagai daerah, misalnya di Jawa Tengah.
Salah satu tokohnya yang terkenal adalah Oey Panko atau kemudian dikenal dengan
sebutan Khe Panjang, kemudian di Jawa menjadi Ki sapanjang. Nama ini dikaitkan
dengan perannya dalam memimpin perlawanan di sepanjang pesisir Jawa.
Perlawanan dan kekacauan yang dilakukan orang-orang Cina itu kemudian meluas di berbagai tempat terutama di daerah pesisir Jawa. Perlawanan orang-orang Cina ini mendapatkan bantuan dan dukungan dari para buapati di pesisir. Bahka yang menarik atas desakan para pangeran, Raja Pakubuwana II juga ikut mendukung pemberontakan orang-orang Cina tersebut. Pada tahun 1741 benteng VOC di Kartasura dapat diserang sehingga pemberontakan orang-orang Cina satu demi satu dapat dipadamkan. Pada kondisi yang demikian ini Pakubuwana II mulai bimbang dan akhirnya melakukan perundingan damai dengan VOC.
8. Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said
Perlawanan
terhadap VOC kembali terjadi di Jawa, kali ini dipimpin oleh bangsawan kerajaan
yakni pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perlawanan berlangsung sekitar 20
tahun.
Raden
Mas Said adalah putera dari Raden Mas Riya yang bergelar Adipati Arya
Mangkunegara dengan Raden Ayu Wulan putri dari Adipati Blitar. Pada usia 14
tahun Raden Mas said sudah diangkat sebagai gandek kraton (pegawai
rendahan di Istana) dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo. Karena merasa sudah
berpengalaman, Raden Mas said kemudian mengajukan permohonan untuk mendapatkan
kenaikan pangkat. Akibat permohonan ini Mas Said justru mendapat cercaan dan
hinaan dari keluarga kepatihan, bahkan dikait-kaitkan dengan tuduhan ikut
membantu pemberontakan orang-orang Cina yang sedang berlangsung. Mas said pergi
menuju Nglaroh untuk memulai perlawanan. Oleh karena pengikutnya mas said
diangkat sebagai raja baru dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara
Senopati Sudibyaning Prang. Hingga kini sebutan Mas Said yang dikenal
masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa. Pada tahun 1745 Pakubuwana II
mengumumkan barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan diberi
hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah sragen sekarang). Mas Said tidak
menghiraukan apa yang dilakukan Pakubuwana II di istana, ia terus melancarkan
perlawanan kepada kerajaan maupun VOC.
Mendengar
adanya sayembara berhadiah itu, Pangeran Mangkubumi ingin mencoba sekaligus
menkar seberapa jauh komitmen dan kejujuran Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi
adalah adik dari Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya
berhasil memadamkan perlawanan Mas Said. Ternyata Pakubuwana II ingkar janji.
Pakubuwana II kehilangan nilai dan komitmennya sebagai raja yang berpegang pada
tradisi, sabda pandhita ratu datan kena wola-wali (perkataan raja tidak
boleh ingkar). Karena bujukan Patih Pringgalaya, Pakubuwana II tidak meberikan
tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi. Terjadilah pertentangan antara Raja
Pakubuwana II yang didukung Patih Pringgalaya di satu pihak dengan Pangeran
Mangkubumi di pihak lain. Dalam suasana konflik ini tiba-tiba dalam pertemuan
terbuka di istana itu Gubernur Jenderal Van Imhoff mengeluarkan kata-kata yang
menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari kekuasaan. Hal
inilah yang sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi, pejabat VOC secara lansung
telah mencampuri urusan pemerintahan kerajaan. Pangeran Mangkubumi segera
meninggalkan istana. Tidak ada pilihan lain kecuali angkat senjata untuk
melawan VOC yang telah semena-mena ikut campur tangan pemerintahan kerajaan.
Hal ini sekaligus untuk memperingatkan saudara tuanya Pakubuwana II agar tidak
mau didikte oleh VOC.
Perjanjian
itu berisi pasal-pasal antara lain : (1). Susuhunan Pakubuwana II menyerahkan
Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure kepada VOC. (2). Hanya
keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta, dan akan dinobatkan oleh VOC
menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC. (3).
Putera mahkota akan segera dinobatkan. Sembilan hari setelah penandatanganan
perjanjian itu Pakubuwana II wafat. Tanggal 15 Desember 1749 Baron van
Hohendorff mengumumkan pengangkatan putera mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana
III.
Perjanjian
tersebut merupakan sebuah trgaedi karena Kerajaan Mataram yang pernah Berjaya
di masa Sultan Agung harus menyerahkan kedaulatan atas seluruh wilayah kerajaan
kepada pihak asing. Hal ini semakin membuat kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan
Mas Said, sehingga keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman
VOC.
Perlawanan Pangeran Mangkubumi berakhir setelah tercapai Perjanjian Giyanti pada tanggal 15 Februari 1755. Isi pokok perjanjian Giyanti : bahwa Mataram dibagi dua. Wilayah bagian barat (daerah Istimewa Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mnagkubumi dna berkuasa sebagai sultan dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedang bagian timur (daerah Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III. Sementara perlawanan Mas Said berakhir setelah tercapai Perjanjian salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang isinya Mas said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
B. Mengevaluasi Perang Melawan Penjajahan Kolonial HIndia Belanda
1. Perang Tondano
Perang Tondano I (1808)
Sekalipun
hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tonando dikenal dalam dua tahap.
Perang Tonando I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa
Barat orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi
Utara. Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Kristen di tanah Minahasa
adalah Fransiscus Xaverius. VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di
Ternate. Bahkan Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia
untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol. Simon Cos kemudian
menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawasi pantai timur Minahasa.
Para pedagang Spanyol dan juga Makasar yang bebas berdagang mulai tersingkir
karena ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan
Indonesia untuk menuju Filipina.
VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC. Oleh karena VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara. Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang- orang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan tempat tinggalnya di Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Pasukan VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang berpusat di Danau Tondano. Simon Cos kemudian memberikan ultimatum yang isinya antara lain: (1) Orang-orang Tondano harus menyerahkan para tokoh pemberontak kepada VOC, (2) orang-orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman padi karena genangan air Sungai Temberan. Simon Cos sangat kesal karena ultimatumnya tidak berhasil. Setelah itu rakyat Tondano menghadapi masalah dengan hasil pertanian yang menumpuk, tidak ada yang membeli. Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati VOC untuk membeli hasil-hasil pertaniannya. Dengan demikian terbukalah tanah Minahasa oleh VOC. Berakhirlah Perang Tondano I. Orang-orang Minahasa itu kemudian memindahkan perkampungannya di Danau Tondano ke perkampungan baru di daratan yang diberi nama Minawanua (ibu negeri).
Perang Tondano II
Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Daendels yang mendapat mandat untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orang-orang Madura, Dayak dan Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung.
(Ukung
adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat
distrik). Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah
2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Banyak di antara para ukung mulai
meninggalkan rumah. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano,
Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ia
menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk
penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta
menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara
cuma-cuma kepada Belanda.
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan yang satu dipersiapkan menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau.Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809. Dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah.
2. Pattimura Angkat Senjata
Maluku
dengan rempah-rempahnya memang bagaikan “mutiara dari timur”, yang senantiasa
diburu oleh orang-orang Barat. Namun kekuasaan orang-orang Barat telah merusak
tata ekonomi dan pola perdagangan bebas yang telah lama berkembang di
Nusantara. Pada masa pemerintahan Inggris di bawah Raffles keadaan Maluku
relatif lebih tenang karena Inggris bersedia membayar hasil bumi rakyat Maluku.
Kegiatan kerja rodi mulai dikurangi. Bahkan para pemuda Maluku juga diberi
kesempatan untuk bekerja pada dinas angkatan perang Inggris. Tetapi pada masa
pernerintahan kolonial Hindia Belanda, keadaan kembali berubah. Kegiatan
monopoli di Maluku kembali diperketat. Dengan demikian beban rakyat semakin
berat. Sebab selain penyerahan wajib, masih juga harus dikenai kewajiban kerja
paksa, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi. Kalau ada penduduk yang
melanggar akan ditindak tegas. Ditambah lagi terdengar desas desus bahwa para
guru akan diberhentikan untuk penghematan, para pemuda akan di kumpulkan untuk
dijadikan tentara di luar Maluku, ditambah dengan sikap arogan Residen Saparua.
Hal ini sangat mengecewakan rakyat Maluku.
![]() |
Pattimura |
Menanggapi
kondisi yang demikian para tokoh dan pemuda Maluku melakukan serangkaian
pertemuan rahasia. Sebagai contoh telah diadakan pertemuan rahasia di Pulau
Haruku, pulau yang dihuni orang-orang Islam. Selanjutnya pada tanggal 14 Mei
1817 di Pulau Saparua (pulau yang dihuni orang-orang Kristen) kembali diadakan
pertemuan di sebuah tempat yang sering disebut dengan Hutan Kayuputih. Dalam
berbagai pertemuan itu disimpulkan bahwa rakyat Maluku tidak ingin terus
menderita di bawah keserakahan dan kekejaman Belanda. Oleh karena itu, perlu
mengadakan perlawanan untuk menentang kebijakan Belanda. Residen Saparua harus
dibunuh. Sebagai pemimpin perlawanan dipercayakan kepada pemuda yang bernama
Thomas Matulessy yang kemudian terkenal dengan gelarnya Pattimura. Thomas
Matulessy pernah bekerja pada dinas angkatan perang Inggris.
Gerakan
perlawanan dimulai dengan menghancurkan kapal-kapal Belanda di pelabuhan. Para
pejuang Maluku kemudian menuju Benteng Duurstede. Ternyata di benteng itu sudah
berkumpul pasukan Belanda. Dengan demikian terjadilah pertempuran antara para
pejuang Maluku melawan pasukan Belanda. Belanda waktu itu dipimpin oleh Residen
van den Berg. Sementara dari pihak para pejuang selain Pattimura juga tampil
tokoh-tokoh seperti Christina Martha Tiahahu, Thomas Pattiwwail, dan Lucas
Latumahina. Para pejuang Maluku dengan sekuat tenaga mengepung Benteng
Duurstede, dan tidak begitu menghiraukan tembakan-tembakan meriam yang
dimuntahkan oleh serdadu Belanda dari dalam benteng. Sementara senjata para
pejuang Maluku masih sederhana seperti pedang dan keris. Dalam waktu yang
hampir bersamaan para pejuang Maluku satu persatu dapat memanjat dan masuk ke
dalam benteng. Residen dapat dibunuh dan Benteng Duurstede dapat dikuasai oleh
para pejuang Maluku. Jatuhnya Benteng Duurstede telah menambah semangat juang
para pemuda Maluku untuk terus berjuang melawan Belanda.
Belanda
kemudian mendatangkan bantuan dari Ambon. Datanglah 300 prajurit yang dipimpin
oleh Mayor Beetjes. Pasukan ini kawal oleh dua kapal perang yakni Kapal Nassau
dan Evertsen. Namun bantuan ini dapat digagalkan oleh pasukan Pattimura, bahkan
Mayor Beetjes terbunuh. Kembali kemenangan ini semakin menggelorakan perjuangan
para pejuang di berbagai tempat seperti di Seram, Hitu, Haruku, dan Larike.
Selanjutnya Pattimura memusatkan perhatian untuk menyerang Benteng Zeelandia di
Pulau Haruku. Melihat gelagat Pattimura itu maka pasukan Belanda di benteng ini
diperkuat di bawah komandannya Groot. Patroli juga terus diperketat. Oleh
karena itu, Pattimura gagal menembus Benteng Zeelandia.
Upaya
perundingan mulai ditawarkan, tetapi tidak ada kesepakatan. Akhirnya Belanda
mengerahkan semua kekuatannya termasuk bantuan dari Batavia untuk merebut
kembali Benteng Duurstede. Agustus 1817 Saparua diblokade, Benteng Duurstede
dikepung disertai tembakan meriam yang bertubi-tubi. Satu persatu perlawanan di
luar benteng dapat dipatahkan. Daerah di kepulauan itu jatuh kembali ke tangan
Belanda. Dalam kondisi yang demikian itu Pattimura memerintahkan pasukannya
meloloskan diri dan meninggalkan tempat pertahanannya. Dengan demikian Benteng
Duurstede berhasil dikuasai Belanda kembali. Pattimura dan pengikutnya terus
melawan dengan gerilya. Tetapi pada bulan November beberapa pembantu Pattimura
tertangkap
seperti Kapitan Paulus Tiahahu (ayah Christina Martha Tiahahu) yang kemudian
dijatuhi hukuman mati. Mendengar peristiwa ini Christina Martha Tahahu marah
dan segera pergi ke hutan untuk bergerilya.
Belanda belum puas sebelum dapat menangkap Pattimura. Bahkan Belanda mengumumkan kepada siapa saja yang dapat menangkap Pattimura akan diberi hadiah 1.000 gulden. Setelah enam bulan memimpin perlawanan, akhirnya Pattimura tertangkap. Tepat pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dihukum gantung di alun-alun Kota Ambon. Christina Martha Tiahahu yang berusaha melanjutkan perang gerilya akhirnya juga tertangkap. Ia tidak dihukum mati tetapi bersama 39 orang lainnya dibuang ke Jawa sebagai pekerja rodi. Di dalam kapal Christina Martha Tiahahu mogok tidak mau makan dan tidak mau buka mulut. Ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya dibuang ke laut antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. Berakhirlah perlawanan Pattimura.
3. Perang Padri
Perang
Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun 1821 – 1837.
Perang ini digerakkan oleh para pembaru Islam yang sedang konflik dengan kaum
Adat. Mengapa dan bagaimana Perang Padri itu terjadi?
Perang
Padri sebenarnya merupakan perlawanan kaum Padri terhadap dominasi pemerintahan
Hindia Belanda di Sumatera Barat. Perang ini bermula adanya pertentangan antara
kaum Padri dengan kaum Adat. Adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum
Adat telah menjadi pintu masuk bagi campur tangan Belanda. Perlu dipahami
sekalipun masyarakat Sumatera Barat sudah memeluk agama Islam, tetapi sebagian
masyarakat masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang kadang-kadang tidak
sesuai dengan ajaran Islam.
Sejak
akhir abad ke-18 telah datang seorang ulama dari kampung Kota Tua di daratan
Agam. Karena berasal dari kampung Kota Tua maka ulama itu terkenal dengan nama
Tuanku Kota Tua. Tuanku Kota Tua ini mulai mengajarkan pembaruan-pembaruan dan
praktik agama Islam. Dengan melihat realitas kebiasaan masyarakat, Tuanku Kota
Tua menyatakan bahwa masyarakat Minangkabau sudah begitu jauh menyimpang dari
ajaran Islam. Ia menunjukkan bagaimana seharusnya masyarakat itu hidup sesuai
dengan Al Quran dan Sunah Nabi. Di antara murid dari Tuanku Kota Tua ini adalah
Tuanku Nan Renceh. Kemudian pada tahun 1803 datanglah tiga orang ulama yang
baru saja pulang haji dari tanah suci Mekah, yakni: Haji Miskin, Haji Sumanik
dan Haji Piabang. Mereka melanjutkan gerakan pembaruan atau pemurnian
pelaksanaan ajaran Islam seperti yang pernah dilakukan oleh Tuanku Kota Tua.
Orang-orang yang melakukan gerakan pemurnian pelaksanaan ajaran Islam di
Minangkabau itu sering dikenal dengan kaum Padri. Mengenai sebutan padri ini
sesuai dengan sebutan orang Padir di Aceh. Padir itu tempat persinggahan para
jamaah haji. Orang Belanda menyebutnya dengan padri yang dapat dikaitkan dengan
kata padre dari bahasa Portugis untuk menunjuk orang-orang Islam yang
berpakaian putih. Sementara kaum Adat di Sumatera Barat memakai pakaian hitam.
NAMA
PADRI “Ada
beberapa pendapat mengenai istilah padri. Ada yang mengatakan, padri berasal
dari kata Portugis, padre yang artinya “bapak”, sebuah gelar yang biasa
diberikan untuk golongan pendeta. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata
Pedir, sebuah kota Bandar di pesisir utara Aceh, tempat transit dan
pemberangkatan kaum muslimin yang akan melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Di
Minangkabau pada awal abad XIX istilah padri belum dikenal. Waktu itu hanya
popular sebutan golongan hitam dan golongan putih. Penamaan ini didasarkan
pada pakaian yang mereka kenakan. Golongan putih yang pakaiannya serba putih
adalah para pembaru, kemudian oleh penulis-penulis sejarah disebut sebagai
kaum Padri/Padri. Belum diketahui mengapa golongan putih ini mereka sebut
sebagai kaum Padri, sedangkan untuk golongan hitam merupakan kelompok yang
memakai pakaian serba hitam. Kelompok ini merupakan kelompok yang
mempertahankan paham yang terlebih dahulu sudah berkembang lama di
Minangkabau, sehingga juga dikenal sebagai golongan adat” (Taufik Abdullah
dan A.B. Lapian (ed), 2012: 415) |
Dalam
melaksanakan pemurnian praktik ajaran Islam, kaum Padri menentang praktik
berbagai adat dan kebiasaan kaum Adat yang memang dilarang dalam ajaran Islam
seperti berjudi, menyabung ayam, minum-minuman keras. Kaum Adat yang mendapat
dukungan dari beberapa pejabat penting kerajaan menolak gerakan kaum Padri.
Terjadilah pertentangan antara kedua belah pihak. Timbullah bentrokan antara
keduanya.
Tahun
1821 pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy sebagai residen di
Minangkabau. Pada tanggal 10 Februari 1821, Du Puy mengadakan perjanjian
persahabatan dengan tokoh Adat, Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu Minangkabau.
Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa daerah kemudian diduduki oleh Belanda.
Pada tanggal 18 Februari 1821, Belanda yang telah diberi kemudahan oleh kaum
Adat berhasil menduduki Simawang. Di daerah ini telah ditempatkan dua meriam
dan 100 orang serdadu Belanda. Tindakan Belanda ini ditentang keras oleh kaum
Padri, maka tahun 1821 itu meletuslah Perang Padri.
Perang
Padri di Sumatera Barat ini dapat dibagi dalam tiga fase.
Fase
pertama (1821-1825)
Pada
fase pertama, dimulai gerakan kaum Padri menyerang pos-pos dan pencegatan
terhadap patroli-patroli Belanda. Bulan September 1821 pos-pos Simawang menjadi
sasaran serbuan kaum padri. Juga pos-pos lain seperti Soli Air, Sipinang dan
lain-lain. Kemudian Tuanku Pasaman menggerakkan sekitar 20.000 sampai 25.000
pasukan untuk mengadakan serangan di sekitar hutan di sebelah timur gunung.
Pasukan Padri menggunakan senjata-senjata tradisional, seperti tombak, dan
parang. Sedangkan Belanda dengan kekuatan 200 orang serdadu Eropa ditambah
sekitar 10.000 pasukan orang pribumi termasuk juga kaum Adat, menggunakan
senjata-senjata lebih lengkap, modern seperti meriam dan senjata api lainnya.
Pertempuran ini memakan banyak korban. Di pihak Tuanku Pasaman kehilangan 350
orang prajurit, termasuk putra Tuanku Pasaman. Begitu juga Belanda tidak
sedikit kehilangan pasukannya. Tuanku Pasaman dengan sisa pasukannya kemudian mengundurkan
diri ke Lintau. Sementara itu pasukan Belanda setelah berhasil menguasai
seluruh lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng di Batusangkar yang
kelak terkenal dengan sebutan Front Van der Capellen.
![]() |
Perang Padri |
Perlawanan kaum Padri muncul di berbagai tempat. Tuanku Pasaman memusatkan perjuangannya di Lintau dan Tuanku Nan Renceh memimpin pasukannya di sekitar Baso. Pasukan Tuanku Nan Renceh harus menghadapi pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Goffinet. Periode tahun 1821 – 1825, serangan-serangan kaum Padri memang meluas di seluruh tanah Minangkabau. Bulan September 1822 kaum Padri berhasil mengusir Belanda dari Sungai Puar, Guguk Sigandang dan Tajong Alam. Menyusul kemudian di Bonio kaum Padri harus menghadapi menghadapi pasukan PH. Marinus. Pada tahun 1823 pasukan Padri berhasil mengalahkan tentara Belanda di Kapau. Kemudian kesatuan kaum Padri yang terkenal adalah yang berpusat di Bonjol. Pemimpin mereka adalah Peto Syarif. Peto Syarif inilah yang dalam sejarah Perang Padri dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Ia sangat gigih memimpin kaum Padri untuk melawan kekejaman dan keserakahan Belanda di tanah Minangkabau.
Karena
merasa kewalahan dalam melawan kaum Padri, maka Belanda mengambil strategi
damai. Oleh karena itu, pada tanggal 26 Januari 1824 tercapailah perundingan
damai antara Belanda dengan kaum Padri di wilayah Alahan Panjang. Perundingan
ini dikenal dengan Perjanjian Masang. Tuanku Imam Bonjol juga tidak keberatan
dengan adanya perjanjian damai tersebut. Akan tetapi Belanda justru dimanfaatkan
perdamaian tersebut untuk menduduki daerah-daerah lain. Kemudian Belanda juga
memaksa Tuanku Mensiangan dari Kota Lawas untuk berunding, tetapi ditolak.
Tuanku Mensiangan justru melakukan perlawanan. Tetapi Belanda lebih kuat bahkan
pusat pertahannya kemudian dibakar dan Tuanku Mensiangan ditangkap. Tindakan
Belanda itu telah menimbulkan amarah kaum Padri Alahan Panjang dan menyatakan
pembatalan kesepatakan dalam Perjanjian Masang. Tuanku Imam Bonjol
menggelorakan kembali semangat untuk melawan Belanda. Dengan demikian
perlawanan kaum Padri masih terus berlangsung di berbagai tempat.
Fase
kedua (1825-1830)
Coba
ingat-ingat angka tahun 1825-1830 itu. Kira-kira terkait dengan peristiwa apa
angka tahun tersebut. Peristiwa itu jelas di luar Sumatera Barat. Tahun itu
merupakan tahun yang sangat penting, sehingga bagi Belanda digunakan sebagai
bagian strategi dalam menghadapi perlawanan kaum Padri di Sumatera Barat. Bagi
Belanda tahun itu digunakan untuk sedikit mengendorkan ofensifnya dalam Perang
Padri. Upaya damai diusahakan sekuat tenaga. Oleh karena itu, Kolonel De Stuers
yang merupakan penguasa sipil dan militer di Sumatera Barat berusaha mengadakan
kontak dengan tokoh-tokoh kaum Padri untuk menghentikan perang dan sebaliknya
perlu mengadakan perjanjian damai. Kaum Padri tidak begitu menghiraukan ajakan
damai dari Belanda, karena Belanda sudah biasa bersikap licik. Belanda kemudian
minta bantuan kepada seorang saudagar keturunan Arab yang bernama Sulaiman
Aljufri untuk mendekati dan membujuk para pemuka kaum padri agar dapat diajak
berdamai. Sulaiman Aljufri menemui Tuanku Imam Bonjol agar bersedia berdamai
dengan Belanda. Tuanku Imam Bonjol menolak. Kemudian menemui Tuanku Lintau
ternyata merespon ajakan damai itu. Hal ini juga didukung Tuanku Nan Renceh. Itulah
sebabnya pada tanggal 15 November 1825 ditandatangani Perjanjian Padang. Isi
Perjanjian Padang itu antara lain :
- Belanda mengakui kekuasaan
pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agam,
Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.
- Kedua belah pihak tidak akan
saling menyerang
- Kedua pihak akan melindungi para
pedagang dan orang-orang yang sedang melakukan perjalanan
- Secara bertahap Belanda akan
melarang praktik adu ayam.
Fase
ketiga (1830 – 1837/1838)
Nah,
tentu kamu sudah menemukan jawaban peristiwa tahun 1825-1830 di Jawa. Peristiwa
itu adalah Perang Diponegoro. Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun
1830, semua kekuatan Belanda dikonsentrasikan ke Sumatera Barat untuk
menghadapi perlawanan kaum Padri. Dimulailah Perang Padri fase ketiga .
Pada
pertempuran fase ketiga ini kaum Padri mulai mendapatkan simpati dari kaum
Adat. Dengan demikian kekuatan para pejuang di Sumatera Barat akan meningkat.
Orang-orang Padri yang mendapatkan dukungan kaum Adat itu bergerak ke pos-pos
tentara Belanda. Kaum Padri dari Bukit Kamang berhasil memutuskan sarana
komunikasi antara benteng Belanda di Tanjung Alam dan Bukittinggi. Tindakan
kaum Padri itu dijadikan Belanda di bawah Gillavry untuk menyerang Koto Tuo di
Ampek Angkek, serta membangun benteng pertahanan dari Ampang Gadang sampai ke
Biaro. Batang Gadis, sebuah nagari yang memiliki posisi sangat strategis
terletak antara Tanjung Alam dan Batu Sangkar juga diduduki. Tahun 1831
Gillavary digantikan oleh Jacob Elout. Elout ini telah mendapatkan pesan dari
Gubernur Jenderal Van den Bosch agar melaksanakan serangan besar-besaran
terhadap kaum Padri.
Elout
segera mengerahkan pasukannya untuk menguasai beberapa nagari, seperti Manggung
dan Naras. Termasuk daerah Batipuh. Setelah menguasai Batipuh, serangan Belanda
ditujukan ke Benteng Marapalam. Benteng ini merupakan kunci untuk dapat
menguasai Lintau. Karena bantuan dua orang Padri yang berkhianat dengan
menunjukkan jalan menuju benteng kepada Belanda, maka pada Agustus 1831 Belanda
dapat menguasai Benteng Marapalam tersebut. Dengan jatuhnya benteng ini maka
beberapa nagari di sekitarnya ikut menyerah.
Seiring
dengan datangnya bantuan pasukan dari Jawa pada tahun 1832 maka Belanda semakin
meningkatkan ofensif terhadap kekuatan kaum Padri di berbagai daerah. Pasukan
yang datang dari Jawa itu antara lain pasukan legium Sentot Ali Basah
Prawirodirjo dengan 300 prajurit bersenjata. Tahun 1833 kekuatan Belanda sudah
begitu besar. Dengan kekuatan yang berlipat ganda Belanda melakukan penyerangan
terhadap pos-pos pertahanan kaum Padri. Banuhampu, Kamang, Guguk Sigandang,
Tanjung Alam, Sungai Puar, Candung dan beberapa nagari di Agam. Dalam catatan
sejarah kolonial penyerangan di berbagai tempat itu, penyerangan terhadap Guguk
Sigandang merupakan cacatan hitam karena disertai dengan penyembelihan dan
penyincangan terhadap tokoh-tokoh dan pasukan kaum Padri bahkan terhadap mereka
yang dicurigai sebagai pendukung Padri. Pada waktu penyerbuan Kamang, pasukan
Belanda dapat mendapat perlawanan sengit, bahkan 100 orang pasukan Belanda
termasuk perwira terbunuh. Baru hari berikutnya dengan mengerahkan kekuatannya,
Belanda dapat menguasai Kamang. Dalam serangkaian pertempuran itu banyak kaum
Padri telah menjadi korban, termasuk tokoh Tuanku Nan Cerdik dapat ditangkap.
Di
samping strategi militer, setelah Van den Bosch berkunjung ke Sumatera Barat,
diterapkan strategi winning the heart kepada masyarakat. Pajak pasar dan
berbagai jenis pajak mulai dihapuskan. Penghulu yang kehilangan penghasilan akibat
penghapusan pajak, kemudian diberi gaji 25-30 golden. Para kuli yang bekerja
untuk pemerintah Belanda juga diberi gaji 50 sen sehari. Elout digantikan oleh
E. Francis yang tidak akan mencampuri urusan pemerintahan tradisional di
Minangkabau. Kemudian dikeluarkan Plakat Panjang. Plakat Panjang adalah
pernyataan atau janji khidmat yang isinya tidak akan ada lagi peperangan antara
Belanda dan kaum Padri. Setelah pengumuman Plakat Panjang ini kemudian Belanda
mulai menawarkan perdamaian kepada para pemimpin Padri.
Dengan kebijakan baru itu beberapa tokoh Padri dikontak oleh Belanda dalam rangka mencapai perdamaian. Setelah kekuatan pasukan Tuanku Nan Cerdik dapat dihancurkan, pertahanan terakhir perjuangan kaum Padri berada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Imam Bonjol di Bonjol. Jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai sudah diblokade oleh tentara Belanda. Tanggal 16 Juni 1835 benteng Bonjol dihujani meriam oleh serdadu Belanda. Agustus 1835 benteng di perbukitan dekat Bonjol jatuh ke tangan Belanda. Belanda juga mencoba mengontak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Imam Bonjol mau berdamai tetapi dengan beberapa persyaratan antara lain kalau tercapai perdamaian Imam Bonjol minta agar Bonjol dibebaskan dari bentuk kerja paksa dan nagari itu tidak diduduki Belanda. Tetapi Belanda tidak memberi jawaban. Justru Belanda semakin ketat mengepung pertahanan di Bonjol. Sampai tahun 1836 benteng Bonjol tetap dapat dipertahankan oleh pasukan Padri. Akan tetapi satu per satu pemimpin Padri dapat ditangkap. Hal ini jelas dapat memperlemah pertahanan pasukan Padri. Namun di bawah komando Imam Bonjol mereka terus berjuang untuk mempertahankan setiap jengkal tanah Minangkabau. Bulan Oktober 1837, secara ketat Belanda mengepung dan menyerang benteng Bonjol. Akhirnya Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya terdesak. Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol ditangkap. Pasukan yang dapat meloloskan diri melanjutkan perang gerilya di hutan-hutan Sumatera Barat. Imam Bonjol sendiri kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Tanggal 19 Januari 1839 ia dibuang ke Ambon dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado sampai meninggalnya pada tanggal 6 November 1864.
4. Perang Diponegoro
Memasuki
abad ke-19, keadaan di Jawa khususnya di Surakarta dan Yogyakarta semakin
memprihatinkan. Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal
tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada dan atau dapat melahirkan
konflik baru di lingkungan kerajaan. Hal ini juga terjadi di Surakarta dan
Yogyakarta. Campur tangan kolonial itu juga membawa pergeseran adat dan budaya
keraton yang sudah lama ada di keraton bahkan melahirkan budaya Barat yang
tidak sesuai dengan budaya Nusantara, seperti minum-minuman keras. Dominasi pemerintahan
kolonial juga telah menempatkan rakyat sebagai objek pemerasan, sehingga
semakin menderita. Pada waktu itu pemerintah kerajaan mengizinkan perusahaan
asing menyewa tanah sawah untuk kepentingan perusahaan. Pada umumnya tanah itu
disewa dengan penduduknya sekaligus. Akibatnya, para petani tidak dapat
mengembangkan hidup dengan pertaniannya, tetapi justru menjadi tenaga kerja
paksa. Rakyat tetap hidup menderita. Perubahan pada masa Van der Capellen juga
menimbulkan kekecewaan. Beban penderitaan rakyat itu semakin berat, karena
diwajibkan membayar berbagai macam pajak, seperti: (a) welah-welit (pajak
tanah), (b) pengawang-awang (pajak halaman kekurangan), (c) pecumpling
(pajak jumlah pintu), (d) pajigar (pajak ternak), (e) penyongket (pajak
pindah nama), dan (f) bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan).
Di samping berbagai pajak itu masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean
atau tol. Semua lalu lintas pengangkut barang juga dikenai pajak. Bahkan
seorang ibu yang menggendong anak di jalan umum juga harus membayar pajak.
Sementara
itu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan terdapat jurang pemisah antara rakyat
dengan punggawa kerajaan dan perbedaan status sosial antara rakyat pribumi
dengan kaum kolonial. Adanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin,
antara rakyat dan kaum kolonial, sering menimbulkan kelompok-kelompok yang
tidak puas sehingga sering menimbulkan kekacauan.
Dalam
suasana penderitaan rakyat dan kekacauan itu tampil seorang bangsawan, putera
Sultan Hamengkubuwana III yang bernama Raden Mas Ontowiryo atau lebih terkenal
dengan nama Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merasa tidak puas dengan
melihat penderitaan rakyat dan kekejaman serta kelicikan Belanda. Pangeran
Diponegoro merasa sedih dengan menyaksikan masuknya budaya Barat yang tidak
sesuai dengan budaya Timur. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro berusaha
menentang dominasi Belanda yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan.
Tanggal 20 Juli 1825 meletuslah Perang Diponegoro.
Bermula
dari insiden anjir
Sejak
tahun 1823, Smissaert diangkat sebagai residen di Yogyakarta. Tokoh Belanda ini
dikenal sebagai tokoh yang sangat anti terhadap Pangeran Diponegoro. Oleh
karena itu, Smissaert bekerja sama dengan Patih Danurejo berusaha menyingkirkan
Pangeran Diponegoro dari istana Yogyakarta. Pada suatu hari di tahun 1825
Smissaert dan Patih Danurejo dalam rangka membuat jalan baru memerintahkan anak
buahnya untuk memasang anjir (pancang/patok). Secara sengaja pemasangan anjir
ini melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin.
Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti anjir tersebut.
Kemudian Patih Danurejo memerintahkan memasang kembali anjir-anjir itu
dengan dijaga pasukan Macanan (pasukan pengawal kepatihan). Dengan
keberaniannya pengikut Pangeran Diponegoro mencabuti anjir/patok-patok
itu dan digantikannya dengan tombak-tombak mereka. Berawal dari insiden anjir
inilah meletus Perang Diponegoro.
![]() |
Perang Diponegoro |
Kala
itu tanggal 20 Juli 1825 sore hari, rakyat Tegalreja berduyun-duyun berkumpul
di dalem Tegalreja dengan membawa berbagai senjata seperti pedang, tombak,
lembing dan lain-lain. Mereka menyatakan setia kepada Pangeran Diponegoro dan
mendukung perang melawan Belanda. Belanda datang dan mengepung dalem Tegalreja.
Pertempuran sengit antara pasukan Diponegoro dengan serdadu Belanda tidak dapat
dihindarkan. Tegalreja dibumi hangus. Dengan berbagai pertimbangan, Pangeran
Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke arah selatan ke Bukit Selarong.
Pangeran
Diponegoro adalah pemimpin yang tidak individualis. Beliau sangat memperhatikan
keselamatan anggota keluarga dan anak buahnya. Sebelum melanjutkan perlawanan
Pangeran Diponegoro harus mengungsikan anggota keluarga, anak-anak dan
orang-orang yang sudah lanjut usia ke Dekso (daerah Kulon Progo). Untuk mengawali
perlawanannya terhadap Belanda Pangeran Diponegoro membangun benteng pertahanan
di Gua Selarong. Dalam memimpin perang ini Pangeran Diponegoro mendapat
dukungan luas baik masyarakat, para punggawa kerajaan dan para bupati. Tercatat
15 dari dari 29 pangeran dan 41 dari 88 bupati bergabung dengan Pangeran
Diponegoro.
Mengatur
strategi dari Selarong
Dari
Selarong, Pangeran Diponegoro menyusun strategi perang. Dipersiapkan beberapa
tempat untuk markas komando cadangan. Kemudian Pangeran Diponegoro menyusun langkah-langkah.
(1). Merencanakan serangan ke keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan
Belanda dan mencegah masuknya bantuan dari luar. (2). Mengirim kurir kepada
para bupati atau ulama agar mempersiapkan peperangan melawan Belanda. (3)
Menyusun daftar nama bangsawan, siapa yang sekiranya kawan dan siapa lawan.
(4). Membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi beberapa mandala perang, dan
mengangkat para pemimpinnya. Pangeran Diponegoro telah membagi menjadi 16
mandala perang, misalnya: Yogyakarta dan sekitarnya di bawah komando Pangeran
Adinegoro (adik Diponegoro) diangkat sebagai patih dengan gelar Suryenglogo.
Bagelen diserahkan kepada Pangeran Suryokusumo dan Tumenggung Reksoprojo.
Perlawanan di daerah Kedu diserahkan kepada Kiai Muhammad Anfal dan
Mulyosentiko. Bahkan di daerah Kedu Pangeran Diponegoro juga mengutus Kiai
Hasan Besari mengobarkan Perang Sabil untuk memperkuat pasukan yang telah ada.
Pangeran Abubakar didampingi Pangeran Muhammad memimpin perlawanan di Lowanu.
Perlawanan di Kulon Progo diserahkan kepada Pangeran Adisuryo dan Pangeran
Somonegoro. Yogyakarta bagian utara dipimpin oleh Pangeran Joyokusumo.
Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Suryonegoro, Somodiningrat, dan
Suronegoro. Perlawanan di Gunung Kidul dipimpin oleh Pangeran Singosari. Daerah
Plered dipimpin oleh Kertopengalasan. Daerah Pajang diserahkan kepada
Warsokusumo dan Mertoloyo, dan daerah Sukowati dipimpin oleh Tumenggung
Kertodirjo dan Mangunnegoro. Gowong dipimpin oleh Tumenggung Gajah Pernolo.
Langon dipimpin oleh Pangeran Notobroto Projo. Serang dipimpin oleh Pangeran
Serang.
Sebagai
pucuk pimpinan Pangeran Diponegoro didampingi oleh Pangeran Mangkubumi (paman
Pangeran Diponegoro), Ali Basyah Sentot Prawirodirjo sebagai panglima muda, dan
Kiai Mojo bersama murid-muridnya. Nyi Ageng Serang yang sudah berusia 73 tahun
bersama cucunya R.M. Papak bergabung bersama pasukan Pangeran Diponegoro. Nyi
Ageng Serang (nama aslinya R.A. Kustiah Retno Edi), sejak remaja sudah anti
terhadap Belanda dan pernah membantu ayahnya (Panembahan Serang) untuk melawan
Belanda.
Pada
tahun-tahun awal Pangeran Diponegoro mengembangkan semangat “Perang Sabil”,
perlawanannya berjalan sangat efektif. Pusat kota dapat dikuasai. Gerakan
pasukan Pangeran Diponegoro bergerak ke timur dan dapat menaklukan Delanggu
dalam rangka menguasai Surakarta namun, pasukan Pangeran Diponegoro dapat
ditahan oleh pasukan Belanda di Gowok. Secara umum dapat dikatakan pasukan
Pangeran Diponegoro mendapatkan banyak kemenangan. Beberapa pos pertahanan
Belanda dapat dikuasai. Untuk memperkokoh kedudukan Pangeran Diponegoro, oleh
para ulama dan pengikutnya ia dinobatkan sebagai raja dengan gelar: Sultan
Abdulhamid Herucokro (Sultan Ngabdulkamid Erucokro).
Perluasan
perang di berbagai daerah
Perlawanan
Pangeran Diponegoro terus meningkat. Beberapa pos pertahanan Belanda dapat
dikuasai. Pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro meluas ke daerah Banyumas,
Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang. Kemudian ke arah timur meluas ke
Madiun, Magetan, terus Kediri dan sekitarnya. Perang yang dikobarkan oleh
Pangeran Diponegoro telah mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa. Oleh
karena itu, Perang Diponegoro sering dikenal dengan Perang Jawa. Semua kekuatan
dari rakyat, bangsawan dan para ulama bergerak untuk melawan kekejaman Belanda.
Menghadapi
perlawanan Diponegoro yang terus meluas itu, Belanda berusaha meningkatkan
kekuatannya. Beberapa komandan tempur dikirim ke berbagai daerah pertempuran.
Misalnya Letkol Clurens dikirim ke Tegal dan Pekalongan, kemudian Letkol Diell ke
Banyumas. Jenderal de Kock sebagai pemimpin perang Belanda berusaha
meningkatkan kekuatannya. Untuk menambah kekuatan Belanda, juga didatangkan
bantuan tentara Belanda dari Sumatera Barat.
Belanda
berusaha menghancurkan pos-pos pertahanan pasukan Pangeran Diponegoro. Sasaran
pertama Belanda yaitu pos pertahanan Pangeran Diponegoro di Gua Selarong.
Tanggal 4 Oktober 1825 pasukan Belanda menyerang pos tersebut. Tetapi ternyata
pos Gua Selarong sudah kosong. Ini memang sebagai bagian strategi Pangeran Diponegoro.
Pos pertahanan Diponegoro sudah dipindahkan ke Dekso di bawah pimpinan Ali
Basyah Sentot Prawirodirjo. Pada tahun 1826 pasukan Ali Basyah Sentot
Prawirodirjo ini berhasil mengalahkan tentara Belanda di daerah-daerah bagian
barat (Kulo Progo dan sekitarnya). Sementara itu di Gunung Kidul pasukan
Diponegoro yang dipimpin oleh Pangeran Singosari juga mendapatkan berbagai
kemenangan. Benteng pertahanan Belanda di Prambanan juga berhasil diserang oleh
pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Tumenggung Suronegoro. Plered sebagai pos
pertahanan Diponegoro juga sering mendapat serangan Belanda. Namun dapat
dipertahankan oleh pasukan Diponegoro di bawah Kertopengalasan.
Seperti
telah diterangkan di atas bahwa perlawanan Pangeran Diponegoro mendapat
dukungan luas dari para bupati di mancanegara (istilah mancanegara untuk
menyebut daerah-daerah yang umumnya sekarang di luar Yogyakarta). Misalnya
terjadi perlawanan sengit di Serang (daerah perbatasan antara Karesidenan
Semarang dan Surakarta). Daerah-daerah mancanegara bagian timur terus melakukan
perlawanan di bawah para bupatinya, misalnya di Madiun, Magetan, Kertosono,
Ngawi, dan Sukowati. Sementara mancanegara bagian barat meluas di wilayah
Bagelen, Magelang dan daerah-daerah Karesiden Kedu lainnya.
Benteng
Stelsel pembawa petaka
Perlawanan
pasukan Pangeran Diponegoro senantiasa bergerak dari pos pertahanan yang satu
ke pos yang lain. Pengaruh perlawanan Diponegoro ini semakin meluas.
Perkembangan Perang Diponegoro ini sempat membuat Belanda kebingungan. Untuk
menghadapi pasukan Diponegoro yang bergerak dari pos yang satu ke pos yang
lain, Jenderal de Kock kemudian menerapkan strategi dengan sistem “Benteng
Stelsel” atau “Stelsel Benteng”.
Dengan
strategi “Benteng Stelsel” sedikit demi sedikit perlawanan Diponegoro dapat
diatasi. Dalam tahun 1827 perlawanan Diponegoro di beberapa tempat berhasil
dipukul mundur oleh pasukan Belanda, misalnya di Tegal, Pekalongan, Semarang,
dan Magelang. Masing-masing tempat dihubungkan dengan benteng pertahanan. Di
samping itu Magelang dijadikan pusat kekuatan militer Belanda.
Dengan
sistem “Benteng Stelsel” ruang gerak pasukan Diponegoro dari waktu ke waktu
semakin sempit. Para pemimpin yang membantu Diponegoro mulai banyak yang
tertangkap. Tetapi perlawanan rakyat masih terjadi di beberapa tempat. Pasukan
Diponegoro di Banyumeneng harus bertahan dari serangan Belanda. Di Rembang di
bawah pimpinan Raden Tumenggung Ario Sosrodilogo, rakyat mengadakan perlawanan
di daerah Rajegwesi. Namun perlawanan di Rembang dapat dipatahkan oleh Belanda
pada bulan Maret 1828. Sementara itu pasukan Diponegoro di bawah Sentot
Prawirodirjo justru berhasil menyerang benteng Belanda di Nanggulan (daerah di
Kulon Progo sekarang). Dalam penyerangan ini berhasil menewaskan Kapten Ingen.
Peristiwa penyerangan benteng di Nanggulan ini mendapat perhatian para pemimpin
tempur Belanda. Pasukan Belanda dikonsentrasikan untuk mendesak dan
mempersempitkan ruang gerak pasukan Sentot Prawirodirjo dan kemudian mencoba
untuk didekati agar mau berunding. Ajakan Belanda ini berkali-kali ditolaknya.
Belanda kemudian meminta bantuan kepada Aria Prawirodiningrat untuk membujuk
Sentot Prawirodirjo. Pertahanan hati Sentot Prawirodirjo pun luluh, dan
menerima ajakan untuk berunding. Pada tanggal 17 Oktober 1829 ditandatangani
Perjanjian Imogiri antara Sentot Prawirodirjo dengan pihak Belanda. Isi
perjanjian itu antara lain:
- Sentot
Prawirodirjo diizinkan untuk tetap memeluk agama Islam,
- Pasukan
Sentot Prawirodirjo tidak dibubarkan dan ia tetap sebagai komandannya,
- Sentot
Prawirodirjo dengan pasukannya diizinkan untuk tetap memakai sorban,
- Sebagai
kelanjutan perjanjian itu, maka pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot
Prawirodirjo dengan pasukannya memasuki ibu kota negeri Yogyakarta untuk
secara resmi menyerahkan diri.
Penyerahan diri atau tertangkapnya para pemimpin pengikut Pangeran Diponegoro, merupakan pukulan berat bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Namun pasukan di bawah komando Diponegoro terus berjuang mempertahankan tanah tumpah darahnya. Pasukan ini bergerak dari pos yang satu ke pos yang lain. Belum ada tanda-tanda perlawanan Diponegoro mau berakhir. Belanda kemudian mengumumkan kepada khalayak pemberian hadiah sejumlah 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menyerahkan Pangeran Diponegoro baik dalam keadaan hidup maupun mati. Tetapi nampaknya tidak ada yang tertarik dengan pengumuman itu.
5. Perlawanan di Bali
Anda
tentu sudah tahu tentang Bali. Sekalipun ada di antara kamu yang belum pernah
ke Bali, tetapi tentu sudah begitu familier mendengar nama Bali. Bahkan pada
abad ke-20 pada saat Indonesia sudah merdeka ternyata masyarakat dunia lebih
mengenal nama Bali dari pada nama Indonesia. Bali adalah sebuah pulau kecil
yang sangat terkenal di Indonesia. Bali dikenal sebagai Pulau Dewata dan
menjadi tujuan wisata nomor satu di Indonesia. Tetapi kalau kita lihat dalam
perjalanan sejarah nasional Indonesia sampai abad ke-19 Bali belum banyak
menarik perhatian orang-orang Barat untuk menanamkan pengaruhnya. Kapal-kapal
orang-orang Barat mungkin hanya singgah dan sekedar berdagang. Baru pada
sekitar tahun 1830- an pemerintahan Hindia Belanda aktif menanamkan pengaruhnya
di Bali. Perkembangan dominasi Belanda inilah yang kemudian menyulut api
perlawanan rakyat Bali kepada Belanda yang terkenal dengan sebutan “Perang
Puputan”
Mengapa
terjadi Perang Puputan di Bali?
Pada
abad ke-19 di Bali sudah berkembang kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Misalnya
Kerajaan Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung, Jembrana, Tabanan,
Menguri dan Bangli. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels mulai
terjadi kontak dengan kerajaan-kerajaan di Bali, tidak sekedar urusan dagang
tetapi menyangkut sewa menyewa orang-orang Bali untuk dijadikan tentara
pemerintah Hindia BeIanda. Tetapi dalam perkembangannya pemerintah Hindia
Belanda ingin menanamkan pengaruh dan berkuasa di Bali. Untuk itu, Belanda
mengirim dua utusan dengan misi masing-masing. Pertama, G.A. Granpre
Moliere untuk misi ekonomi, kedua, Huskus Koopman mengemban misi
politik. Misi ekonomi berjalan lancar. Tetapi misi politik menghadapi berbagai
kendala. Huskus Koopman terus berusaha mendekati raja-raja di Bali agar
bersedia mengakui keberadaan dan kekuasaan Belanda. Akhirnya dicapai perjanjian
atau kontrak politik antara raja-raja di Bali dengan Belanda. Misalnya, dengan
Raja Badung (28 November 1842), dengan Raja Karangasem ( 1 Mei 1843), dengan
Raja Buleleng ( 8 Mei 1843), dengan Raja Klungkung (24 Mei 1843) dan Tabanan
(22 Juni 1843). Perjanjian kontrak antara raja-raja di Bali dengan Belanda itu
terutama seputar Hukum Tawan Karang agar dihapuskan.
![]() |
Perang Bali |
Karena
kelihaian atau bujukan Belanda, raja-raja di Bali dapat menerima perjanjian
untuk meratifikasi penghapusan Hukum Tawan Karang. Tetapi sampai tahun 1844
Raja Buleleng dan Karangasem belum melaksanakan perjajian tersebut. Terbukti
pada tahun 1844 itu penduduk melakukan perampasan atas isi dua kapal Belanda
yang terdampar di Pantai Sangsit (Buleleng) dan Jembrana (waktu itu juga
daerahnya Buleleng). Belanda protes keras terhadap kejadian ini. Belanda
memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem agar melaksanakan isi
perjanjian yang telah disepakati. Belanda juga menuntut agar Buleleng membayar
ganti rugi atas kapal Belanda yang dirampas penduduk. Raja Gusti Ngurah Made
Karangasem yang mendapat dukungan patihnya, I Gusti Ktut Jelantik, dengan tegas
menolak tuntutan Belanda tersebut. Bahkan I Gusti Ktut Jelantik sudah melakukan
latihan dan menghimpun kekuatan untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda.
Dengan demikian perang tidak dapat dihindarkan.
Patih
Ktut Jelantik terus mempersiapkan prajurit Buleleng dan memperkuat pos-pos
pertahanan. Dalam pertempuran ini Raja Buleleng juga mendapat dukungan dari
Kerajaan Karangasem dan Klungkung. Sementara, pada tanggal 27 Juni 1846 telah
datang pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang pasukan darat yang langsung
menyerbu kampung-kampung di tepi pantai. Di samping itu, masih ada pasukan laut
yang datang dengan kapal-kapal sewaan. Pertempuran sengit terjadi antara para
pejuang dari Buleleng, dibantu oleh para pejuang Karangasem, dan Klungkung
melawan Belanda. Selama dua hari para pemimpin, prajurit, dan rakyat Buleleng
bertempur mati-matian. Mengingat persenjataan Belanda lebih lengkap dan modern,
maka para pejuang Buleleng semakin terdesak. Benteng pertahanan Buleleng jebol
dan ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Raja dan Patih Ktut Jelantik beserta
pasukannya, terpaksa mundur sampai ke Desa Jagaraga (sekitar 7 km sebelah timur
Singaraja). Pasukan Belanda terus mendesak para pejuang dan memaksa Raja
Buleleng untuk menandatangani perjanjian. Perjanjian ditandatangani pada
tanggal 6 Juli 1846 yang isinya antara lain: (1) Dalam waktu tiga bulan, Raja
Buleleng harus menghancurkan semua benteng Buleleng yang pernah digunakan dan
tidak boleh membangun benteng baru, (2) Raja Buleleng harus membayar ganti rugi
dari biaya perang yang telah dikeluarkan Belanda, sejumlah 75.000 gulden, dan
raja harus menyerahkan I Gusti Ktut Jelantik kepada pemerintah Belanda, (3)
Belanda diizinkan menempatkan pasukannya di Buleleng.
Tekanan
dan paksaan Belanda itu mencoba ditandingi dengan tipu daya. Raja dan para
pejuang pura-pura menerima isi perjanjian itu. Tetapi di balik itu Raja dan
Patih Ktut Jelantik memperkuat pasukannya. Di Jagaraga dibangun benteng
pertahanan yang kuat bagaikan gelar-supit urang. Rakyat juga sengaja tetap
mempertahankan Hukum Tawan Karang. Pada tahun 1847 saat ada kapal-kapal asing
terdampar di Pantai Kusumba Klungkung, tetap dirampas oleh kerajaan. Sudah
tentu hal ini menimbulkan amarah dari Belanda. Belanda kemudian mengeluarkan
ultimatum agar raja-raja di Buleleng, Klungkung dan Karangasem mematuhi dan
melaksanakan isi perjanjian yang telah ditandatangani.
Raja-raja
di Bali tidak menghiraukan ultimatum Belanda itu. Rakyat justru dipersiapkan
untuk melawan kekejaman Belanda. Raja Buleleng kemudian mengirim kurir untuk
meminta bantuan pasukan dari kerajaan-kerajaan lain di Bali, sehingga datang
pasukan tambahan dari Klungkung, Karangasem, Mengwi. Belanda mengetahui bahwa
Raja Buleleng membangkang dan Patih Ktut Jelantik terus memperkuat pasukannya.
Menghadapi
hal tersebut Belanda terus meningkatkan kekuatannya. Pada tanggal 7 dan 8 Juni
1848, telah mendarat bala bantuan Belanda di Pantai Sangsit. Tanggal 8 Juni
serangan Belanda terhadap benteng Jagaraga dimulai. Sebagai pemimpin tentara
Belanda antara lain: J. van Swieten, Letkol Sutherland Benteng Jagaraga terus
dihujani meriam. Namun pasukan Buleleng di bawah pimpinan Ktut Jelantik yang
dibantu isterinya, Jero Jempiring mampu mengembangkan pertahanan dengan gelar-supit
urang sehingga dapat menjebak pasukan Belanda. Lima orang opsir dan 74
orang serdadu dapat ditewaskan ditambah lagi tujuh opsir dan 98 serdadu Belanda
luka-luka. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur.
Kekalahan
Belanda itu cukup menyakitkan perasaan pimpinan Belanda di Batavia. Oleh karena
itu, dipersiapkan pasukan yang lebih kuat untuk melakukan pembalasan. Awal
April 1849 telah datang kesatuan serdadu Belanda dalam jumlah besar menuju ke
Jagaraga. Pada tanggal 15 April 1849 semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk
menyerang Jagaraga. Dalam tempo dua hari, yakni tanggal 16 April sore hari
semua kekuatan di Jagaraga dapat dilumpuhkan oleh Belanda. Runtuhlah Benteng
Jagaraga sebagai pertanda lenyapnya kedaulatan rakyat Buleleng. Raja Buleleng
diikuti I Gusti Ktut Jelantik dan Jero Jempiring menyingkir ke Karangasem.
Tetapi mereka tertangkap dan terbunuh dalam upaya untuk mempertahankan diri.
Dengan terbunuhnya Raja Buleleng dan Patih Ktut Jelantik maka jatuhlah Kerajaan Buleleng ke tangan Belanda. Menyusul kemudian bulan Mei 1849 Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba (Klungkung) jatuh pula ke tangan Belanda. Tetapi nampaknya tidak mudah Belanda untuk menguasai Pulau Bali. Pertempuran demi pertempuran masih terus terjadi. Tahun 1906 terjadi Perang Puputan di Badung, pada tahun 1908 terjadi Perang Puputan di Klungkung.
6. Perang Banjar
Kamu
tentu sudah mengenal Provinsi Kalimantan Selatan. Ibukotanya ada di
Banjarmasin. Berbicara soal Banjarmasin, apa yang kamu ingat, apa yang kamu
ketahui tentang Banjarmasin atau Provinsi Kalimantan Selatan pada umumnya. Kamu
pernah mendengar tentang batu-batu mulia dan intan dari Kalimantan Selatan?
Atau kamu tahu tentang kain sasirangan. Itu semua merupakan produk-produk
penting dari Kalimantan Selatan dewasa ini. Bagaimana dengan latar belakang sejarahnya?
Di
Kalimantan Selatan pernah berkembang Kerajaan Banjar atau Banjarmasin. Wilayah
Kesultanan Banjarmasin ini pada abad ke-19 meliputi Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah sekarang. Pusatnya ada di Martapura. Kesultanan ini memiliki
posisi yang strategis dalam kegiatan perdagangan dunia. Hal ini terutama karena
adanya hasil-hasil seperti emas dan intan, lada, rotan dan damar. Hasil-hasil
ini termasuk produk yang diminati oleh orang-orang Barat, sehingga orang-orang
Barat juga berminat untuk menguasai Kesultanan Banjarmasin. Salah satu pihak
yang berambisi untuk menguasai Banjarmasin adalah Belanda.
Setelah
melalui bujuk rayu disertai tekanan-tekanan, maka pada tahun 1817 terjadi
perjanjian antara Sultan Banjar (Sultan Sulaiman) dengan pemerintah Hindia
Belanda. Dalam perjanjian ini Sultan Sulaiman harus menyerahkan sebagian
wilayah Banjar kepada Belanda, seperti daerah Dayak, Sintang, Bakumpai, Tanah
Laut, Mundawai, Kotawaringin, Lawai, Jalai, Pigatan, Pasir Kutai, dan Beran.
Dengan demikian wilayah kekuasaan Kesultanan Banjarmasin semakin sempit,
sementara daerah kekuasaan Belanda semakin bertambah. Bahkan menurut perjanjian
yang diadakan tanggal 4 Mei 1826 antara Sultan Adam Alwasikh dengan Belanda,
menetapkan bahwa daerah Kesultanan Banjar tinggal daerah Hulu Sungai,
Martapura, dan Banjarmasin.
Wilayah
yang semakin sempit itu telah membawa problem dalam kehidupan sosial ekonomi.
Penghasilan para penguasa kerajaan menjadi semakin kecil. Sementara dengan
masuknya pola hidup Barat, kebutuhan hidup para penguasa meningkat. Dengan
demikian beban hidup mereka semakin sulit. Untuk mengatasi kesulitan ini maka
mereka menaikkan pajak. Dengan demikian rakyat menjadi sasaran eksploitasi baik
dari pemerintah kolonial maupun para pejabat kerajaan. Rakyat juga
diperintahkan untuk melakukan kerja wajib.
Dalam
suasana sosial ekonomi yang memprihatinkan itu, di dalam kerajaan sendiri
terjadi konflik intern. Hal ini juga karena ulah intervensi Belanda. Hal ini
bermula saat putera mahkota Abdul Rakhman meninggal secara mendadak pada tahun
1852. Sementara Sultan Adam memiliki tiga putra sebagai kandidat pengganti
sultan, yakni : Pangeran Hidayatullah, Pangeran Tamjidillah, dan Prabu Anom.
Ketiga kandidat itu masing-masing memiliki pendukung. Pangeran Hidayatullah didukung
pihak istana dan kebetulan sudah mengantongi surat wasiat dari Sultan Adam
untuk menggantikan sebagai sultan, Pangeran Anom dijagokan sebagai mangkubumi,
sedang Tamjidillah didukung Belanda.
Tahun
1857 Sultan Adam meninggal. Dengan sigap Residen E.F. Graaf von Bentheim
Teklenburg mewakili Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai sultan dan Pangeran
Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi. Pada hal menurut wasiat yang sah yang
diangkat menjadi sultan adalah Pangeran Hidayatullah. Oleh karena itu, wajar
kalau pengangkatan Tamjidillah sebagai Sultan Banjarmasin menimbulkan protes
dan rasa kecewa dari berbagai pihak. Tamjidillah memiliki perangai yang kurang
baik, senang minum-minuman keras seperti orang Belanda. Tamjidillah juga
menghapus hak-hak istimewa pada saudara-saudaranya termasuk menganggap tidak
ada surat wasiat dari Sultan Adam kepada Pangeran Hidayatullah. Kemudian,
setelah hak-haknya dirampas, Pangeran Anom dibuang ke Bandung. Tindakan
Tamjidillah yang sewenang-wenang itu semakin menimbulkan rasa kecewa dari
berbagai pihak. Salah satu gerakan protes dan menolak pengangkatan Tamjidillah
sebagai sultan adalah yang dipelopori oleh Penghulu Abdulgani. Pangeran
Hidayatullah yang diangkat sebagai mangkubumi ternyata selalu disisihkan dalam
berbagai urusan. Akibatnya ketegangan di istana semakin tajam sehingga membuat
kondisi kerajaan menjadi tidak kondusif.
Dalam
suasana yang penuh ketegangan itu ditambah terjadi gerakan di pedalaman yang
dipelopori oleh Aling. Aling yang juga dikenal sebagai Panembahan Muning
mengatakan dalam semedinya ia mendapatkan firasat agar Kesultanan Banjarmasin
dikembalikan kepada Pangeran Antasari, sepupu Pangeran Hidayatullah. Pangeran
Antasari adalah juga seorang pangeran yang diperkirakan juga keturunan raja di
Banjarmasin. Gerakan Aling ini membuat suasana kerjaan semakin kacau. Pusat
gerakan Aling dinamakan Tambai Mekah (Serambi Mekah) yang terletak di tepian
Sungai Muning. Aling juga memanggil Antasari agar datang di Tambai Mekah.
Pengaruh Aling ini semakin besar dan banyak pengikutnya, karena Aling memang
dipandang orang yang sakti. Pangeran Antasari yang memang sudah kecewa dengan
apa yang terjadi di lingkungan kerajaan, datang dan bergabung dengan Gerakan
Aling. Antasari berkeinginan untuk menurunkan Tamjidillah dan melawan kekuasaan
Belanda. Di samping kekuatan penuh dari pengikut Aling, Pangeran Antasari juga
mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti Sultan Pasir dan Tumenggung
Surapati pimpinan orang-orang Dayak.
Pada
tanggal 28 April 1859 orang-orang Muning di bawah komando Panembahan Aling dan
puteranya, Sultan Kuning menyerbu kawasan tambang batu bara di Pengaron.
Sekalipun gagal menduduki benteng di Pengaron tetapi para pejuang Muning
berhasil membakar kawasan tambang batu bara dan pemukiman orang-orang Belanda
di sekitar Pengaron. Banyak orang-orang Belanda yang terbunuh oleh gerakan
orang-orang Muning ini. Mereka juga melakukan penyerangan ke perkebunan milik
gubernemen di Gunung Jabok, Kalangan, dan Bangkal Dengan demikian berkobarlah
Perang Banjar.

Dengan
peristiwa tersebut, keadaan pemerintahan Kesultanan Banjar semakin kacau.
Sultan Tamjidillah yang memang tidak disenangi oleh rakyat itu juga tidak
banyak berbuat. Oleh karena itu, Tamjidillah dinilai oleh Belanda tidak mampu
memerintah maka diminta untuk turun tahta. Akhirnya pada tanggal 25 Juni 1859
secara resmi Tamjidillah mengundurkan diri dan mengembalikan legalia Banjar
kepada Belanda. Tamjidillah kemudian diasingkan ke Bogor.
Mulai
saat itu Kesultanan Banjar berada di bawah dominasi Belanda. Belanda sebenarnya
berusaha membujuk Pangeran Hidayatullah (Hidayat) untuk bergabung dengan
Belanda dan akan dijadikan Sultan Banjar. Tetapi kalau melihat kelicikan
Belanda, bagi Pangeran Hidayatullah itu semua merupakan tipu daya Belanda. Oleh
karena itu, Pangeran Hidayatullah memilih bersama rakyat untuk melancarkan
perlawanan terhadap Belanda.
Sementara
itu pasukan Antasari sudah bergerak menyerbu pos-pos Belanda di Martapura.
Perlawanan Antasari dengan cepat mendapat dukungan dari para ulama dan punggawa
kerajaan yang sudah muak dengan kelicikan dan kekejaman Belanda. Bulan Agustus
1859, Antasari bersama pasukan Haji Buyasin, Kiai Langlang, Kiai Demang Lehman
berhasil menyerang benteng Belanda di Tabanio. Kemudian pasukan Surapati
berhasil menenggelamkan kapal Belanda, Onrust, dan merampas senjata yang ada di
kapal tersebut di Lontotuor, Sungai Barito Hulu. Dengan demikian Perang Banjar
semakin meluas.
Pada
waktu itu memasuki bulan Agustus-September tahun 1859 pertempuran rakyat Banjar
terjadi di tiga lokasi, yakni di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan
Tanah Laut, serta sepanjang Sungai Barito. Pertempuran di sekitar Banua Lima di
bawah pimpinan Tumenggung Jalil, pertempuran di sekitar Martapura dan tanah
Laut dipimpin oleh Demang Lehman, dan sepanjang Sungai Barito dikomandani oleh
Pangeran Antasari. Kiai Demang Lehman yang berusaha mempertahankan benteng
Tabanio diserbu tentara Belanda. Pertempuran sengit terjadi dan banyak membawa
korban. Sembilan orang serdadu Belanda tewas. Belanda kemudian meningkatkan jumlah
pasukannya. Benteng Tabanio berhasil dikepung oleh Belanda. Demang Lehman dan
pasukannya dapat meloloskan diri. Demang Lehman kemudian memusatkan kekuatannya
di benteng pertahanan di Gunung Lawak, Tanah Laut. Benteng ini juga diserbu
tentara Belanda. Setelah bertahan mati-matian, akhirnya Demang Lehman
meninggalkan benteng itu karena sudah banyak pengikutnya yang menjadi korban.
Kekalahan Demang Lehman di benteng Gunung Lawak tidak memupuskan semangat juang
melawan Belanda, sebab mereka yakin perang ini merupakan perang sabil.
Pada
bulan September Deman Lehman dan para pemimpin lain seperti Tumenggung Jalil,
dan Pangeran Muhammad Aminullah meninggalkan medan pertempuran di Tanah Laut
menuju Kandangan untuk mengadakan perundingan dengan tokoh-tokoh pejuang yang
lain. Dalam pertemuan di Kandangan itu menghasilkan kesepakatan yang intinya
para pemimpin pejuang Perang Banjar menolak tawaran berunding dengan Belanda,
dengan merumuskan beberapa siasat perlawanan sebagai berikut.
- Pemusatan
kekuatan perlawanan di daerah Amuntai.
- Membuat
dan memperkuat pertahanan di Tanah Laut, Martapura, Rantau dan Kandangan.
- Pangeran
Antasari memperkuat pertahanan di Dusun Atas.
- Mengusahakan
tambahan senjata.
Dalam
pertemuan itu semua yang hadir mengangkat sumpah untuk berjuang mengusir
penjajah Belanda dari bumi Banjar tanpa kompromi : “Haram Manyarah Waja
sampai Kaputing”. Para pejuang tidak akan menyerah sampai titik darah yang
penghabisan.
Setelah
pertemuan itu perlawanan terus berkobar di berbagai tempat. Untuk menghadapi berbagai
serangan itu Belanda juga terus memperkuat pasukan dan membangun
benteng-benteng pertahanan seperti di Tapin, memperkuat Benteng Munggu Thayor,
serta Benteng Amawang di Kandangan. Demang Lehman berusaha menyerang Benteng
Amawang tersebut, tetapi gagal. Setelah itu Demang Lehman dan pasukannya mundur
menuju daerah Barabai untuk memperkuat pertahanan pasukan Pangeran
Hidayatullah.
Perlu diketahui bahwa Pangeran Hidayatullah setelah meninggalkan Martapura dan berkumpul dengan seluruh anggota keluarga, kemudian diikuti pasukannya ia berangkat ke Amuntai. Meskipun tidak dengan perangkat kebesaran, oleh para ulama dan semua pengikutnya, Hidayatullah diangkat sebagai sultan. Setelah itu Sultan Hidayatullah menyatakan perang jihad fi sabilillahterhadap orang-orang Belanda. Dalam gerakannya menuju Amuntai pasukannya melakukan serangan ke pos-pos Belanda. Gerakan perlawanan Pangeran Hidayatullah kemudian dipusatkan di Barabai. Datanglah kemudian pasukan Demang Lehman untuk memperkuat pasukan Hidayatullah. Menghadapi pasukan gabungan itu Belanda di bawah G.M. Verspyck mengerahkan semua kekuatan pasukan yang ada. Pasukan infanteri dari Batalion VII, IX, XIII semua dikerahkan, ditambah 100 orang petugas pembawa perlengkapan perang dan makanan. Juga mengerahkan kapal-kapal perang dari Suriname, Bone dan kapal-kapal kecil.
Terjadilah pertempuran sengit. Dengan seruan “Allahu Akbar”pasukan Hidayatullah dan Demang Lehman menyerbu menghadapi kekuatan tentara Belanda. Mereka dengan penuh keberanian menghadapi musuh karena yakin mati dalam perang ini adalah syahid. Tetapi kekuatan tidak seimbang, pasukan Belanda lebih unggul dari jumlah pasukan maupun senjata, maka Hidayatullah dan Demang Lehman menarik mundur pasukannya. Kemudian membangun pertahanan di Gunung Madang. Semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk segera menangkap Pangeran Hidayatullah. Pertahanan di Gunung Madang pun jebol. Pangeran Hidayatullah dengan sisa pasukannya kemudian berjuang berpindah-pindah, bergerilya dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari hutan yang satu ke hutan yang lain. Namun Belanda terus memburu dan mempersempit ruang gerak pasukan Hidayatullah. Akhirnya pada tanggal 28 Februari 1862 Hidayatullah berhasil ditangkap bersama anggota keluarga yang ikut bergerilya.
Hidayatullah bersama anggota keluarganya kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Berakhirlah perlawanan Pangeran Hidayatullah.Sementara itu Pangeran Antasari terus melanjutkan perlawanan. Oleh para pengikutnya Antasari kemudian diangkat sebagai pejuang dan pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar: Panembahan Amiruddin Kalifatullah Mukminin.
7. Aceh Berjihad
Kita sering mendengar tentang Aceh. Apa yang kamu ketahui tentang Aceh? Ya, yang segar diingatan kita yakni peristiwa tsunami pada 26 Desember 2004. Tsunami itu terjadi karena adanya gempa bumi yang begitu dahsyat dengan kekuatan 9,3 skala Richter terletak di Samudra Indonesia, kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh pada kedalaman 10 km. Tsunami itu telah meluluhlantakkan Aceh. Nah, peristiwa tsunami ini bisa dikatakan sebagai peringatan Tuhan Yang Maha Kuasa agar kita lebih berhati-hati untuk menjaga lingkungan dan tidak sembarang melakukan reklamasi pantai.
Di samping tsunami apa lagi yang kamu tahu tentang Aceh? Oh, ya mungkin kamu juga pernah mendengar Aceh dikenal sebagai Serambi Mekah. Mengapa? Aceh merupakan daerah pertama masuknya Islam di Nusantara. Aceh juga pernah menjadi kerajaan Islam yang mendapat pengakuan dari Syarif Mekah atas nama Khalifah Turki. Aceh juga pernah menjadi pangkalan/pelabuhan haji untuk seluruh Nusantara. Orang-orang Indonesia yang naik haji ke Mekah dengan kapal laut, sebelum mengarungi Samudra Indonesia, tinggal beberapa bulan di Banda Aceh. Itulah Aceh kemudian mendapat julukan “Serambi Mekah”
Sungguh Aceh ibarat Serambi Mekah merupakan daerah dan kerajaan yang berdaulat. Rakyat bebas beraktivitas, beribadah, dan berdagang dengan siapa saja, di mana saja. Tetapi kedaulatan mulai terganggu karena keserakahan dan dominasi Belanda. Dominasi, dan kekejaman penjajahan Belanda ini telah berimbas ke Aceh sehingga melahirkan “Perang Aceh”, perangnya para pejuang untuk berjihad melawan kezaliman kaum penjajah pada tahun 1873 – 1912.
Perang Sabil
Tahun 1884 merupakan tahun yang sangat penting, karena Muhammad Daud Syah telah dewasa maka secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Ala’uddin Muhammad Daud Syah bertempat di Masjid 126 Indrapuri. Pada waktu upacara penobatan ini para pemimpin Perang Aceh seperti Tuanku Hasyim, Panglima Polim, Tengku Cik Di Tiro memproklamirkan “Ikrar Prang Sabi” (Perang Sabil). Perang Sabil merupakan perang melawan kaphee Beulanda (kafir Belanda), perang suci untuk membela agama, perang untuk mempertahankan tanah air, perang jihad untuk melawan kezaliman di muka bumi. Setelah penobatan itu, mengingat keamanan istana di Indrapuri dipindahkan ke Keumala di daerah Pidie (sekitar 25 km sebelah selatan kota Pidie). Dari Istana Keumala inilah semangat Perang Sabil digelorakan.
Dengan digelorakan Perang Sabil, perlawanan rakyat Aceh semakin meluas. Apalagi dengan seruan Sultan Muhammad Daud Syah yang menyerukan gerakan amal untuk membiayai perang, telah menambah semangat para pejuang Aceh. Cik Di Tiro mengobarkan perlawanan di Sigli dan Pidie. Di Aceh bagian barat tampil Teuku Umar beserta isterinya Cut Nyak Dien. Pertempuran sengit terjadi di Meulaboh. Beberapa pos pertahanan Belanda berhasil direbut oleh pasukan Teuku Umar. Pasukan Aceh dengan semangat jihadnya telah menambah kekuatan untuk melawan Belanda. Belanda mulai kewalahan di berbagai medan pertempuran. Belanda mulai menerapkan strategi baru yang dikenal dengan
“Konsentrasi Stelsel atau Stelsel Konsentrasi”. Strategi Konsentrasi Stelsel itu ternyata juga belum efektif untuk dapat segera menghentikan perang di Aceh. Bahkan dengan strategi itu telah menyebarkan perlawanan rakyat Aceh dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Perang gerilya juga mulai dilancarkan oleh para pejuang Aceh. Gerakan pasukan Teuku Umar juga terus mengalami kemajuan. Pertengahan tahun 1886 Teuku Umar berhasil menyerang dan menyita kapal Belanda Hok Canton yang sedang berlabuh di Pantai Rigaih. Kapten Hansen (seorang berkebangsaan Denmark) nakhoda kapal yang diberi tugas Belanda untuk menangkap Teuku Umar justru tewas dibunuh oleh Teuku Umar. Ditengah-tengah perjuangan itu pada tahun 1891 Tengku Cik Di Tiro meninggal. Perjuangannya melawan Belanda dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Tengku Ma Amin Di Tiro.
Kemudian terpetik berita bahwa pada tahun 1893 Teuku Umar menyerah kepada Belanda. Teuku Umar kemudian dijadikan panglima tentara Belanda dan diberi gelar Teuku Johan Pahlawan. Ia diizinkan untuk membentuk kesatuan tentara beranggotakan 250 orang. Peristiwa ini tentu sangat berpengaruh pada semangat juang rakyat Aceh. Nampaknya Teuku Umar juga tidak serius untuk melawan bangsanya sendiri. Setelah pasukannya sudah mendapatkan banyak senjata dan dipercaya membawa dana 800.000 gulden, pada 29 Maret 1896 Teuku Umar dengan pasukannya berbalik dan kembali melawan Belanda. Peristiwa inilah yang dikenal dengan Het verraad van Teukoe Oemar (Pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar berhasil menyerang pos-pos Belanda yang ditemui.
Peristiwa itu membuat Belanda semakin marah dan geram. Sementara untuk menghadapi semangat Perang Sabil Belanda juga semakin kesulitan. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain untuk melaksanakan usulan Snouck Horgronye untuk melawan Aceh dengan kekerasan. Perlu diketahui bahwa sebelum itu Belanda telah meminta Snouck Horgronye agar melakukan kajian tentang seluk beluk kehidupan dan semangat juang orang-orang Aceh, sehingga dapat ditemukan strategi untuk segera mengalahkan para pejuang Aceh.
Snouck Horgronye mulai menyamar memasuki kehidupan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Aceh. Ia memakai nama samaran Abdul Gafar. Ia telah mempelajari agama Islam dan adat budaya Aceh. Snouck Horgronye menyimpulkan bahwa para pejuang Aceh itu sulit dikalahkan karena disemangati oleh semangat jihad dengan tali ukhuwah Islamiyahnya. Oleh karena itu Snoukck Horgronye mengusulkan beberapa cara untuk melawan perjuangan rakyat Aceh. Beberapa usulan itu adalah sebagai berikut.
- Perlu
memecah belah persatuan dan kekuatan masyarakat Aceh, sebab di lingkungan
masyarakat Aceh terdapat rasa persatuan antara kaum bangsawan, ulama, dan
rakyat.
- Menghadapi
kaum ulama yang fanatik dalam memimpin perlawanan harus dengan ekerasan,
yaitu dengan kekuatan Senjata
- Bersikap lunak terhadap kaum bangsawan dan keluarganya dan diberi kesempatan untuk masuk ke dalam korps pamong praja dalam pemerintahan kolonial Belanda.
Belanda segera melaksanakan usulan-usulan Snouck Horgronye tersebut. Belanda harus menggempur Aceh dengan kekerasan dan senjata. Untuk memasuki fase ini dan memimpin perang melawan rakyat Aceh, diangkatlah gubernur militer yang baru yakni van Heutsz (1898-1904) menggantikan van Vliet. Genderang perang dengan kekerasan di mulai tahun 1899. Perang ini berlangsung 10 tahun. Oleh karena itu, pada periode tahun 1899 – 1909 di Aceh disebut dengan masa sepuluh tahun berdarah (tien bloedige jaren). Semua pasukan disiagakan dengan dibekali seluruh persenjataan. Vann Heutsz segera melakukan serangan terhadap pos pertahanan para pemimpin perlawanan di berbagai daerah. Dalam hal ini Belanda juga mengerahkan pasukan anti gerilya yang disebut Korps Marchausse(Marsose) yakni pasukan yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang berada di bawah pimpinan opsir-opsir Belanda. Mereka pandai berbahasa Aceh. Dengan demikian mereka dapat bergerak sebagai informan.
Dengan kekuatan penuh dan sasaran yang tepat karena adanya informan-informan bayaran, serangan Belanda berhasil mencerai-beraikan para pemimpin perlawanan. Teuku Umar bergerak menyingkir ke Aceh bagian barat dan Panglima Polem dapat digiring dan bergerak di Aceh bagian timur. Di Aceh bagian barat Teuku Umar mempersiapkan pasukannya untuk melakukan penyerangan secara besar-besaran ke arah Meulaboh. Tetap tampaknya persiapan Teuku Umar ini tercium oleh Belanda. Maka Belanda segera menyerang benteng pertahanan Teuku Umar. Terjadilah pertempuran sengit pada Februari 1899. Dalam pertempuran ini Teuku Umar gugur sebagai suhada. Perlawanan dilanjutkan oleh Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dengan pasukannya memasuki hutan dan mengembangkan perang gerilya. Perlawanan rakyat Aceh belum berakhir.
Para pejuang Aceh di bawah komando sultan dan Panglima Polem terus berkobar. Setelah istana kerajaan di Keumala diduduki Belanda, sultan melakukan perlawanan dengan berpindah-pindah bahkan juga melakukan perang gerilya. Sultan menuju KutaSawang kemudian pindah ke Kuta Batee Iliek. Tetapi kuta-kutaini berhasil diserbu Belanda. Sultan kemudian menyingkir ke Tanah Gayo. Pada tahun berikutnya Belanda menangkap istri sultan, Pocut Murong. Karena tekanan Belanda yang terus menerus, pada Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa menyerah. Demikian siasat licik dari Belanda. Cara licik ini kemudian juga digunakan untuk mematahkan perlawanan Panglima Polem dan Tuanku Raha Keumala. Istri, ibu dan anak-anak Panglima Polem ditangkap oleh Belanda. Dengan tekanan yang bertubi-tubi akhirnya Panglima Polem juga menyerah pada 6 Serptember 1903.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kerajaan Aceh yang sudah berdiri sejak 1514 harus berakhir.Kerajaan boleh berakhir, tetapi semangat juang rakyat Aceh untuk melawan dominasi asing sulit untuk dipadamkan. Sementara Cut Nyak Dien terus mengobarkan perang jihad dengan bergerilya. Tetapi setelah pos pertahan pasukannya dikepung tentara Belanda pada tahun 1906 Cut Nyak Dien berhasil ditangkap. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat sampai meninggal pada tanggal 8 November 1908. Namun perjuangan rakyat Aceh juga belum berakhir. Di daerah Pidie sejumlah ulama masih terus melancarkan serangan ke pos-pos Belanda. Tokoh-tokoh ulama itu misalnya Teungku Mahyidin Tiro bersama istrinya Teungku Di Bukiet Tiro, Teungku Ma’at Tiro, Teungku Cot Plieng. Semua ulama ini gugur dalam Perang Sabil melawan kezaliman Belanda. Ulama yang terakhir mengadakan perlawaan di Pidie ini adalah Teungku Ma’at Tiro yang waktu itu baru berusia 16 tahun. Tetapi setelah dikepung di Pegunungan Tangse Teungku Ma’at Tiro berhasil ditembak mati oleh Belanda pada tahun 1911. Ia mati syahid gugur sebagai kusuma bangsa.
Sementara itu di pesisir utara dan timur Aceh juga masih banyak para ulama dan pemimpin adat yang terus melakukan perlawanan. Misalnya Teuku Ben Pirak (ayah Cut Nyak Mutia), Teuku Cik Tinong (suami Cut Nyak Mutia). Setelah ayah dan suaminya gugur, Cut Nyak Mutia melanjutkan perang melawan kekejaman Belanda. Cut Nyak Mutia sesuai dengan pesan suaminya Teuku Cik Tunong sebelum ditembak mati oleh Belanda disarankan untuk menikah dengan Pang Nanggru. Oleh karena itu, Cut Nyak Mutia dapat bersama-sama melawan Belanda dengan Pang Nanggru. Pada tanggal 26 September 1910 terjadi pertempuran sengit di Paya Cicem. Pang Nanggru tewas dan Cut Nyak Mutia berhasil meloloskan diri. Bersama puteranya Raja Sabil (baru usia 11 tahun), Cut Nyak Mutia terus memimpin perlawanan. Tetapi Cut Nyak Mutia akhirnya dapat didesak dan gugur setelah beberapa peluru menembus kaki dan tubuhnya.
Ulama yang lain seperti Teungku Di Barat bersama istrinya Cut Po Fatimah masih melanjutkan perlawanan, tetapi suami-istri itu akhirnya juga gugur tertembak oleh keganasan peluru Belanda pada tahun 1912. Demikian Perang Sabil yang digelorakan rakyat Aceh secara massal baru berakhir pada tahun 1912. Tetapi sebenarnya masih ada gerakan-gerakan perlawanan lokal yang berskala kecil yang sering terjadi. Bahkan dikatakan perang-perang kecil itu berlangsung sampai tahun 1942.
8. Perang Batak
Kita semua juga sudah sangat familier mendengar kata Batak. Batak merupakan nama kawasan dan sekaligus nama suku, Suku Batak. Ada beberapa kelompok Batak misalnya ada Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak. Sekarang masyarakat Batak tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mereka banyak yang bergerak dan berperan di bidang hukum.Secara historis-sosiologis masyarakat Batak menarik untuk dikaji. Secara sosiologis kita mengenal bagaimana struktur masyarakat Batak itu. Basis masyarakat Batak sebenarnya berada di daerah-daerah kompleks perkampungan yang disebut dengan huta. Hutaadalah bentuk kesatuan ikatan-ikatan kampung yang dalam berbagai aspek kehidupan berdiri sendiri-sendiri.
Setiap kesatuan hutadidiami oleh satu ikatan kekerabatan yang disebut marga. Dalam strukturnya, di atas hutaatau gabungan dari beberapa hutaterbentuk horjadan gabungan dari beberapa horjaterbentuk bius. Kesatuan dari beberapa biusitu terbentuklah satu wilayah kerajaan, 131 Sejarah Indonesia kerajaan masyarakat Batak yang dipimpin oleh Raja Si Singamangaraja. Pusat pemerintahannya di Bakkara. Sejak tahun 1870 yang menjadi raja adalah Patuan Bosar Ompu Pulo Batu yang bergelar Si Singamangaraja XII. Pada tahun 1878 Raja Si Singamangaraja XII angkat senjata memimpin rakyat Batak untuk melawan Belanda.
Perlu diketahui bahwa setelah Perang Padri berakhir, Belanda terus meluaskan daerah pengaruhnya. Belanda mulai memasuki tanah Batak seperti Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Sipirok bahkan sampai Tapanuli. Hal ini jelas merupakan ancaman serius bagi kekuasaan Raja Batak, Si Singamangaraja XII. Masuknya dominasi Belanda ke tanah Batak ini juga disertai dengan penyebaran agama Kristen. Penyebaran agama Kristen ini ditentang oleh Si Singamangaraja XII, karena dikhawatirkan perkembangan agama Kristen itu akan menghilangkan tatanan tradisional dan bentuk kesatuan negeri yang telah ada secara turun temurun. Untuk menghalangi proses Kristenisasi ini, pada tahun 1877 Raja Si Singamangaraja XII berkampanye keliling ke daerah-daerah untuk menghimbau agar masyarakat mengusir para zending yang memaksakan agama Kristen kepada penduduk.
Masuknya pengaruh Belanda ini juga akan mengancam kelestarian tradisi dan adat asli orang-orang Batak. Akibat kampanye Raja Singamangaraja XII telah menimbulkan ekses pengusiran para zending bahkan ada penyerbuan dan pembakaran terhadap pos-pos zending di Silindung. Kejadian ini telah memicu kemarahan Belanda dan dengan alasan melindungi para zending, pada tanggal 8 Januari 1878 Belanda mengirim pasukan untuk menduduki Silindung. Pecahlah Perang Batak.
0 Response to "Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme"
Post a Comment